tag:blogger.com,1999:blog-51988901129063842652024-03-13T14:33:40.112-07:00Sounds FreeMusic Knows No BoundariesSounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-66564565352233737522015-06-07T21:10:00.002-07:002015-06-07T21:11:04.748-07:00Kolumnis<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-e9Ia53vqUDQ/VXUVnqwMawI/AAAAAAAAAGw/EEd22c1GCVs/s1600/writers-block.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="265" src="http://1.bp.blogspot.com/-e9Ia53vqUDQ/VXUVnqwMawI/AAAAAAAAAGw/EEd22c1GCVs/s400/writers-block.jpg" width="400" /></a></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Pekerjaan apa pula kolumnis itu? Tak banyak orang yang tahu tentang pekerjaan ini. Berbeda dengan pegawai negeri atau diplomat. Bahkan komunis lebih tenar dari kolumnis. Padahal keduanya beda-beda tipis saja. Cukup pada huruf 'l' dan letak beberapa huruf saja. Selebihnya tak ada beda.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Ya, pada dasarnya keduanya memang tak ada beda. Terutama di negeri ini. Keduanya sama-sama dipinggirkan peradaban oleh rezim yang menyebut dirinya Orde Baru. Tidak punya tenar, bahkan cenderung dilupakan.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Seorang komunis, di negeri ini bagaikan penderita kista nasibnya. Dijauhi. Baik oleh perorangan maupun sistem. Kalau kata iklan layanan masyarakat di negeri ini, "awas bahaya laten komunis". Semua karena politik. Pemimpin rezim yang bernama Orba itu, punya alergi pada komunis. Hanya lantaran dalam benaknya, komunis adalah musuh Pancasila. Ideologi yang konon asli milik bangsa ini. Sehingga, semua yang ada hubungannya dengan komunis, wajib disingkirkan dari struktur masyarakat negeri ini.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Lho, sejak kapan Pancasila punya musuh? Sejak kapan bangsa ini suka cari musuh? Bukankah bangsa ini orangnya ramah-ramah?</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Saya sendiri bingung mencari jawaban semua pertanyaan itu. Karena, saya masih yakin bangsa ini cukup ramah pada apapun. Bahkan pada penjajahan. Terbukti, 350 tahun dijajah ya tetap santai-santai saja. Atau, bahkan sampai sekarang? Entahlah.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Lagipula, tetap tak elok kiranya bila bangsa ini sampai memerangi satu ideologi tertentu. Ide, selamanya akan sebatas di dalam kepala saja. Tak dapat memberontak. Kecuali ada oknum-oknum yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadi.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Kalau pada kenyataannya begitu, sungguh cukuplah negeri ini menghukum para oknum itu. Bukan menghukum ideologinya. Apalagi seluruh umat yang meyakini ideologi itu. Itu namanya genosida.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Begini, bukan maksud hamba mengulik perdebatan usang soal komunis lagi. Tapi, dengan adanya fakta kelam kekejaman rezim pada para penganut faham komunisme, membuka peluang atas terjadinya hal yang sama pada kelompok-kelompok minoritas dengan ide tertentu di negeri ini. Sebut saja golongan Kejawen. Sunda Wiwitan. Ahmadiyah. Syiah. Atau bahkan Islam sebagai mayoritas sendiri.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Bagi kelompok minoritas, kita sudah banyak lihat buktinya. Kekerasan menimpa Ahmadiyah dan Syiah. Begitupun pada aliran kepercayaan macam Kejawen dan Sunda Wiwitan. Beratasnamakan apapun, kelompok-kelompok itu ditekan keberadaannya. Seperti halnya buah dada Mbak Pamela yang terus tertekan oleh sempitnya BH. Pada akhirnya, sama-sama butuh kebebasan. Butuh uluran tangan sesama juga.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Ini pula yang terjadi tatkala cara pandang sistem begitu kerdil pada sesuatu. Seperti soal terorisme. Selalu Islam yang dituduh teroris. Lantaran satu dua muslim iseng-iseng merakit bom. Padahal, masih banyak orang Islam, saya misalnya, yang suka rukun-rukun saja. Masih suka suit-suit hehe pada gadis-gadis.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Lantas bagaimana dengan kolumnis?</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Oh ya hampir saja lupa. Maklum kalau sudah bahas komunis dan buah dada saya suka khilaf. Suka gak kuat menahan nafsu. Padahal inti tulisan ini kan soal kolumnis. Hehe. Maaf ya.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Baiklah, seperti yang saya katakan sebelumnya, kolumnis itu sama buruknya nasibnya dengan komunis. Sama-sama dilupakan peradaban. Tak setenar presiden atau Panglima ABRI. Terutama di jaman Orde Baru. Meskipun sekarang juga begitu.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Mengapa?</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Sederhana saja, kolumnis adalah seorang yang demen nulis di kolom-kolom surat kabar. Namanya penulis, ya tentu saja bakalan jujur. Seperti kata Pramoedya, tulisan itu lebih jujur dari mulut penulisnya. Jadi, meski si penulis ini suka berbohong, tetap saja tulisannya akan jujur. Seperti perasaanku padamu, dik. Iya, kamu. Halah opo toh.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Nah, kejujuran itulah musuh utama sebuah rezim. Terutama rezim bernama Orba itu. Apalagi kalau kejujuran itu berbentuk kritik. Haram hukumnya. Bisa-bisa dibredel koran yang istiqomah memberitakan kejujuran. Tempo misalnya.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Soal kolumnisnya?</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Kolumnisnya sendiri (yang jujur loh ya) dipenjarakan. Bisa macam-macam tuduhannya. Pencemaran nama baik. Melawan pemerintah. Atau melawan calon mertua. Aiih opo sih kok ke situ-situ. Pokoknya, jaman itu apapun yang tidak disuka si pemimpin ya kudu masuk bui.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Sebab itulah tak banyak orang yang berani jadi kolumnis. Pekerjaan ini kurang populer. Karena taruhannya adalah bui. Sedangkan, jadi kolumnis yang berbohong, hati nurani mereka menolak. Sehingga, ya lebih baik tidak usah daripada harus berontak pada hati nurani sendiri.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Pada jaman itu, Mahbub Djunaidi adalah salah satu kolumnis paling berani di negeri ini. Bukan bui yang membuatnya berhenti menulis. Tapi kematian. Dan itu terbukti. Ia berhenti menulis baru setelah mati. Soal kolumnis satu ini, biarlah lain waktu kuceritakan.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Lantas sekarang?</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Sekarang sih memang sudah banyak kolumnis. Reformasi telah menjadi gerbang kebebasan termasuk pada pekerjaan ini. Bahkan, seperti fakta, pekerjaan ini dijunjung setinggi-tingginya derajatnya. Kolumnis wajib dibela. Begitulah.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Namun, kebebasan ini rupanya tak bikin para kolumnis baru tambah jujur. Sebaliknya, kebebasan itu mereka bikin untuk melegalkan kebohongannya. Seolah apa yang mereka lakukan itu dilindungi oleh negara.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Maka, tak heran bila kita melihat koran hari ini, cukup memuakkan. Isinya cuma berita-berita yang telah dibentuk sedemikan rupa sesuai pesanan. Dan para kolumnisnya? Tak jauh beda. Mereka cuma mempertajam kebohongan berita-berita itu dengan wajah yang liyan.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Tak semua memang. Karena masih ada kolumnis-kolumnis macam AS Laksana yang cukup konsisten dengan kejujurannya. Atau Cak Rusdi, jurnalis senior yang selalu kuat dengan perspektif pada setiap beritanya. Bahkan, di tengah semua keterbatasan itu, muncul Mojok(dot)co dan Jombloo(dot)co sebagai dwi website asuhan Puthut EA yang sama-sama mengedepankan tawa dan kejujuran dalam tulisan-tulisannya.</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Terakhir, bila hari ini tukang mebel mampu jadi presiden, akankah kolumnis juga?</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Hanya ada satu jawaban saya, "Ya!"</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Tapi, kalau itu benar-benar terjadi, saya mohon jangan Agus Mulyadi yang jadi. Kasihan PDIP bila harus ganti jargon. Bukan lagi moncong putih, tapi moncong Mulaydi!</span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span></div>
<div dir="ltr" style="background-color: white;">
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Tabiq!</span></span></div>
Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-22877123997895838522015-06-07T21:02:00.002-07:002015-06-07T21:05:15.558-07:00Khittah Plus dan Tuntutan Kejelasan Sikap Politik NU<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-l3vWemY02uE/VXUTrGO6frI/AAAAAAAAAGk/QiWHmRGSx2I/s1600/LOGO%2BNU%2BNAHDLATUL.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="250" src="http://1.bp.blogspot.com/-l3vWemY02uE/VXUTrGO6frI/AAAAAAAAAGk/QiWHmRGSx2I/s400/LOGO%2BNU%2BNAHDLATUL.png" width="400" /></a></div>
Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi<br />
<br />
Kembalinya NU ke khittah 1926 pada Muktamar Situbondo tahun 1983, bukanlah sebuah hal asing lagi. Baik bagi kalangan nahdliyyin sendiri, maupun mereka yang berada di luar NU. Sejak saat itu, NU, secara resmi mengembalikan status dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan sebagaimana awal mula organisasi ini berdiri. Sekaligus menandai undur dirinya organisasi ini dalam segala bentuk kegiatan politik praktis.<br />
<br />
Sejalan dengan keputusan tersebut, terbebaslah nahdliyyin menentukan sikap politiknya. Sebagaimana jargon yang terkenal, "NU ada di mana-mana, tapi tidak ke mana-mana." Artinya, nahdliyyin bisa berada di parpol manapun, tanpa harus mengikut sertakan NU ke dalamnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, NU sebagai partai pada pemilu 1955, dan menjadi bagian dari PPP setelah adanya kebijakan fusi partai di jaman Orba.<br />
<br />
Dalam hal ini, PPP pun menjadi partai yang praktis sangat dirugikan. Kendati masih banyak tokoh muda NU yang bercokol di partai itu, jumlah pemilih dari nahdliyyin merosot. Hal ini terlihat jelas pada pemilu 1987. Saat itu, secara tidak langsung, dengan jargon kembali ke kultur, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil membuat suara PPP gembos. Sebaliknya, suara Golkar semakin gemuk. Pada akhirnya polemik pun terjadi di dalam tubuh NU sendiri. Seperti halnya antara KH Alwy, yang saat itu masih di PPP, dengan Gus Dur.<br />
<br />
Pada masa seperti ini, saat berlangsung Konbes NU di Cilacap, muncullah gagasan Khittah Plus dari Mahbub Djunaidi dengan dukungan dari KH. As'ad Syamsul Arifin (Situbondo). Bahwa, sebagai jamiyah, NU pun harus memiliki sikap politik.<br />
<br />
Mahbub beranggapan, tanpa adanya sikap politik, NU hanya akan menjadi political hostest semata. Nahdliyyin sekadar menjadi pendulang suara, namun NU tidak punya keterikatan dengan power yang didukungnya. Atau, hanya menjadi pembenar bagi kebijakan pemerintah saja. Walhasil, kepentingan nahdliyyin pun tak dapat terakomodir.<br />
<br />
Namun, gagasan Mahbub ini ditolak oleh Konbes masa itu. Karena, Khittah Plus sama saja dengan mengembalikan NU sebagai partai. Dan itu dianggap merugikan fleksibilitas NU yang telah terbangun.<br />
<br />
Seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah reformasi, ketimpangan mulai terjadi. Beberapa partai berdiri mengatasnamakan NU, seperti PKB dan PNU. Dan, NU pun dituntut mengambil sikap.<br />
<br />
Nyatanya, NU pilih kasih dalam mengambil sikap. PKB lebih dianak emaskan daripada yang lain. Hal itu membuat PNU dan partai lain yang mengatasnamakan NU pada akhirnya bubar. PKB praktis menjadi satu-satunya partai yang mengatasnamakan NU. Bahkan, dalam pemilu 2014 lalu, PKB jelas-jelas mencatut lambang NU pada baliho kampanyenya.<br />
<br />
Bagi saya, hal ini bertentangan dengan keputusan kembali khittah. Harusnya NU tidak perlu tebang pilih semacam itu. Karena, itu membuktikan NU hanya ada di satu tempat saja: PKB. Berbanding terbalik dengan jargon bahwa NU dimana-mana.<br />
<br />
Seharusnya, kalau memang NU tidak kemana-mana, maka tidak boleh ada satu parpolpun yang memakai lambangnya. Meskipun pada kenyataannya di situ banyak bercokol politisi nahdliyyin.<br />
<br />
Sebaliknya, kalau NU memperbolehkan salah satu parpol memakai lambangnya, maka partai lainpun harusnya diizinkan. Misal Golkar dengan adanya Nusron Wahid, Ketua GP Ansor di situ. Atau PPP sebagai partai yang dipimpin kader NU juga.<br />
<br />
Menurut saya, pada Muktamar Jombang Agustus nanti, persoalan seperti ini juga harus dibahas dengan serius. Demi NU tak dianggap sebagai penjilat ludah sendiri.<br />
<br />
Selain itu, gagasan Khittah Plus juga harus dipikirkan ulang. Mengingat, dengan banyaknya politisi NU yang menjadi menteri di rezim Jokowi, adalah bukti bahwa NU telah besar secara politik. Dan, hal itu membutuhkan kejelasan politik dari NU.<br />
<br />
Bukan tidak mungkin, 2019 akan ada nahdliyyin yang akan menjadi calon presiden. Maka, penting untuk dipikirkan dari sekarang. Bila tidak, lagi-lagi nahdliyyinlah yang akan dirugikan. Hanya menjadi keset politik penguasa saja.<br />
<br />
Mengutip Mahbub Djunaidi, politik bukan cuma soal kekuasaan. Melainkan keberanian untuk bermasyarakat, mendengarkan suara rakyat, dan menyuarakan suara yang benar. Sebagai jamiyah keagamaan terbesar, NU memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sunggug sayang bila harus disia-siakan!<br />
<br />
Tabiq!Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-87113844274057327132015-06-07T20:57:00.002-07:002015-06-07T21:05:36.398-07:00Sertifikasi PSK dan Gaya Kapital Ahok Yang Banal<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-Ri94bOHSBXw/VXUSjXBXWwI/AAAAAAAAAGc/e2OElZVYLPI/s1600/046026600_1410775759-ilustrasi-lipsus-ahok-140915b.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-Ri94bOHSBXw/VXUSjXBXWwI/AAAAAAAAAGc/e2OElZVYLPI/s1600/046026600_1410775759-ilustrasi-lipsus-ahok-140915b.jpg" /></a></div>
<br />
<br />
Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi<br />
<br />
Segala yang dilakukan dengan mengendap-endap memang tak pernah asik. Bahkan bila sesungguhnya perbuatan itu sungguh mengasikkan. Bercinta misalnya. Tak ada yang syak soal keasikannya. Manusia hidup pasti senang melakukannya. Bila tidak, tak mungkin ada pernikahan, poligami, hingga kumpul kebo. Tapi, tetap saja akan menjadi wagu bila dilakukan secara mengendap-endap. Sembunyi-sembunyi.<br />
<br />
Barangkali itulah mengapa prostitusi, bagi Ahok, mesti dibikin transparan. Legal.Dibuatkan lokalisasi yang bisa dijangkau siapa saja. Supaya tak hilang keasikan sensasinya. Supaya uhuk uhuk oh my god ite ite kimochi-nya tak mandeg di kerongkongan saja. Lepas. Puas. Tak seperti nasib muda mudi yang suka ngendok di kos itu. Terbebani hasrat digrebek.<br />
<br />
Bahkan, ia berencana membikinkan pekerjanya sertifikat. Mungkin biar resmi. Biar nggak kalah sama PNS. Apalagi sebentar lagi MEA, sertifikat pasti penting bagi PSK lokal untuk bersaing dengan PSK dari negara liyan. Yang pastinya sebentar lagi bakal tumpah ruah kayak mobil Jepang di negeri ini.<br />
<br />
Sepintas ide si kokoh memang tampak luhur. Karena, selain dua faktor di atas, memang melegalkan lokalisasi banyak baiknya. Mencegah seks bebas dan hal-hal lain yang tentu sama buruknya dengan hukuman mati. Sebuah hal yang tak habis pikir rasanya bisa ada di negeri yang guyub makmur sejahtera ini. Duh.<br />
<br />
Namun, kalau dipikir lebih jeruh lagi, kebijakan si kokoh nyatanya tak seluhur itu. Mengapa?<br />
<br />
Pertama, membikin lokalisasi hanya bakal bikin mata rantai yang semakin panjang saja soal bisnis haram ini. Bahkan, bisa-bisa pelakunya merasa perbuatannya dilindungi negara. Germo-germo akan makin semangat bergerilya mencari gadis-gadis baru buat dibodohi lalu dijual. Mau sampai kapan? Nunggu gadis perawan di negeri ini habis, dan Gus Mul jadi perjaka tua? Jelas tidak, kan!<br />
<br />
Sebab, seperti kata Bang Napi, kejahatan bukan hanya karena niat pelakunya. Melainkan karena adanya kesempatan. Apakah Koh Ahok yang tegas dan luhur budi itu mau ngasih kesempatan pada hal bejat? Ya mending kasih kesempatan buat Gus Mul buat dapet jodoh aja lah.<br />
<br />
Kedua, sertifikasi pada PSK saya pikir adalah sebuah hal yang utopis. Coba kita pikir bersama, kiranya bagaima mekanisme sertifikasinya? Apa tolak ukurnya? Siapa yang mengukur? Koh Ahok? Menang banyak dong.<br />
<br />
Saya masih percaya, tolak ukur kepuasan di ranjang, adalah rahasia dua tubuh yang berkeringat dan cicak yang ngiler di sudut dinding. Bukan berdasar sertifikat. Karena ini bukab Ujian Nasional!<br />
<br />
Tak hanya itu, sertifikasi juga bakal menimbulkan perpecahan sosial di kalangan PSK. Yang tak lolos sertifikasi akan meri sama yang lolos. Karena, ke depannya ini juga akan menentukan jumlah pelanggan. Konsumen bakal lebih milih yang bersertifikat. Seperti mereka yang lebih percaya Sevel daripada toko kelontong. Duh, lagi-lagi cara kapitalisme!<br />
<br />
Kalau sudah begitu, siapa yang bakal tanggungjawab sama hidup PSK non sertifikat? Negara? Ya ndak mungkin. Wong menurut UUD 45' yang ditanggung negara itu cuma hajat hidup rakyat miskin, gelandangan, dan anak yatim saja kok. Bukan PSK!<br />
<br />
Sudahlah Koh Ahok, PSK itu sudah kelewat susah. Jangan lagi ditambah dengan nalar bisnismu yang maha kapital itu. Orang jatuh jangan tambah diinjek. Tapi bantulah berdiri. Beri pegangan. Entaskan mereka dari problemanya.<br />
<br />
Lagipula, persoalan ini adalah persoalan sosial. Tidak bisa diselesaika dengan nalar bisnis yang matematis. Bukan dengan minus kali minus sama dengan plus. Bukan dengan nalar untung rugi. Melainkan dengan pendekatan moril. Kalau kata Gus Mul, tepo sliro.<br />
<br />
Untuk yang satu ini, kiranya bisa belajar sama Bu Risma saja. Meski kontrofersial, nyatanya pembubaran Dolly itu ada hasilnya juga. Wisma-wisma berganti menjadi tempat pelatihan lokakarya para mantan PSK.<br />
<br />
Adapun masih ada satu dua PSK yang masih melanjutkan kerjanya di tempat lain, itu urusan mereka pribadi. Yang penting pemerintah sudah berusaha tak meninggalkan mereka begitu saja. Tapi mengayomi seperti janjinya.<br />
<br />
Terakhir, saya jadi ingat sebuah pepatah lama: jika kau ingin tahu rahasia kota yang makmur, maka lihatlah perilaku para ibu dan anak gadisnya. Bila kau ingin tahu rahasia kota yang hancur, lihatlah perilaku para lelakinya.<br />
<br />
Jadi, bagaimana dengan Jakarta, Koh?Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-44973437973512341972015-06-07T20:53:00.007-07:002015-06-07T21:06:02.584-07:00Romantika<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-CB6tk1aoPgU/VXUQM7MJjfI/AAAAAAAAAGA/NGi2VABhxYs/s1600/7418_sekolah-jangan-dijadikan-ajang-bisnis-267x300.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="640" src="http://4.bp.blogspot.com/-CB6tk1aoPgU/VXUQM7MJjfI/AAAAAAAAAGA/NGi2VABhxYs/s640/7418_sekolah-jangan-dijadikan-ajang-bisnis-267x300.jpg" width="569" /></a></div>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span><span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Bung Karno dalam bukunya 'Di Bawah Bendera Revolusi' pernah berkata, bangsa yang besar adalah yang punya romantika. Pendapat ini tak lain muncul dalam konteks membangkitkan semangat revolusi bangsa Indonesia kala itu. Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan lain di negeri ini menjadi romantika yang dimaksud untuk diulangi kejayaannya.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Baiklah, bangsa ini memang telah besar sejak dahulu kala. Cucu Jenghis Khan, Kubilai Khan, pun tak mampu menaklukkan bangsa ini. Sebaliknya, utusan yang dikirim olehnya harus pulang membawa malu atas penghinaan yang diberikan Kertanegara dengan melukai wajahnya. Juga, begitulah nasib Jenderal Mallaby. Sebagai seorang jenderal besar yang belum sekalipun kalah di beberapa perang besar, ia harus mati di tangan arek-arek Suroboyo yang mempertahankan kemerdekaan bangsanya.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Seluruh kejadian itu, sekali lagi, kini telah menjadi romantika. Dongeng yang ditulis dalam buku sejarah maupun disampaikan dari lisan ke lisan. Sehingga, setiap anak bangsa yang baru lahir senantiasa memiliki kebanggaan atas tanah air dan moyangnya. Dan, ketika ditanya siapa nenek moyang mereka, dengan lantang mereka kan menjawab: nenek moyangku pelaut, pejuang, dan penguasa.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Namun, nyatanya romantika tak selamanya membesarkan. Melainkan bisa juga mengkerdilkan dan membikin malu. Terutama apabila kita terlalu larut di dalamnya. Kecanduan. Seperti kata Cak Nun, kecanduan, meskipun pada hal baik, adalah sesuatu yang harus dihindari. Bila tidak, niscaya kita akan menjadi manusia yang selalu sakaw. Sedangkan, orang sakaw itu mudah dipengaruhi dan terjerumus.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Dapat dikatakan, hari ini kita tengah menjadi bangsa yang sakaw. Setiap bicara bangsa, kita pasti berbicara romantika masa lalu. Tidak hanya masyarakat awam, pemikir dan politisi di negeri ini pun sama. Lihat saja pada setiap kampanye pemilu tahun 2014. Baik Jokowi dan Prabowo sama-sama menjadikan romantika masa lalu sebagai barang jualan utama di etalase kampanye mereka.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Untuk yang satu itu, saya sangat miris melihat Prabowo. Tak hanya soal jargon, hingga gaya pun ia harus mengimitasi Bung Karno. Padahal seorang pemimpin mestilah punya karakter sendiri. Bahkan bila itu mlenya-mlenye seperti Jokowi. Toh, buktinya karena kemlenya-mlenyeannya itulah ia menang. Ia telah membuktikan pada rakyat mampu menjadi diri sendiri. Ya, meskipun kini setelah terpilih ia menjadi sedikit ambivalen.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Hal lain yang membuktikan kesakawan bangsa ini pada romatika masa lalu, adalah ketika membicarakan soal-soal pembangunan. Selalu saja, di tengah keterpurukan di pelbagai sektor, kita menghibur diri dengan segala pencapaian di masa lalu. Cukup di situ, tanpa ada usaha untuk membenahinya. Atau, paling mentok berantem soal anggaran yang hanya berujung panjangnya antrean jadwal sidang di pengadilan Tipikor.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Misalnya soal pendidikan, kita selalu bangga bahwa dulu kita adalah guru bagi rakyat negeri Jiran. Pelajar-pelajar Malaysia berbondong-bondong belajar ke negeri ini. Dan, kebanggan semacam ini bertahan berpuluh tahun lamanya, hingga secara tak sadar kwalitas sekolah dan kampus kita telah tertinggal jauh dari mereka.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Saya memang sengaja tidak bicara soal kwalitas pemikiran pelajar kita dengan mereka. Karena, saya masih yakin pemikiran anak bangsa ini masih jauh lebih unggul. Tapi, apalah artinya kwalitas pemikiran yang unggul tanpa ditopang infrastruktur dan sitem yang baik? Saya pikir, untuk yang satu ini kita wajib sama-sama memikirkan jawabannya.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Soal romantika, nampaknya bukan hanya persoalan bangsa ini saja. Cina, bangsa yang disebut sebagai 'The New Emerging Power', pun mengalaminya. Dengan menggunakan sisa-sia manuskrip Dinasti Ming sebagai pembenaran, bangsa itu melakukan klaim terhadap keseluruhan wilayah Laut Cina Selatan. Alhasil, Cina pun harus menuai sengketa dengan Filipina dan beberapa negara lain di Asia Pasifik yang kebetulan punya perbatasan di Laut Cina Selatan.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Menurut berita terbaru, seperti halnya yang dilansir harian Kompas hari ini, Filipina meminta dukungan kepada Jepang perihal sengketa wilayah ini. Menanggapi permintaan itu, Jepang pun menggelar latihan perang gabungan dengan Filipina untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Dengan begitu, dapat dikatakan security dilemma di kawasan Asia Pasifik pun terjadi. Bukan tidak mungkin konflik terbuka di kawasan pun akan segera terjadi. Mengingat, antara Jepang dan Cina pun sebenarnya telah memiliki konflik lama yang hingga kini belum terselesaikan sejak Perang Dunia II. Terlebih, situasi bisa semakin memanas karena Jepang telah memutuskan untuk merevisi UU pertahanan mereka yang hanya membolehkan negara itu memiliki self defense army.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Belum lagi AS yang sejak tahun 2011 telah menerapkan kebijakan New Containment Policy di kawasan Asia Pasifik. Sebuah kebijakan penambahan angkatan perang AS di kawasan itu, yang selama ini lebih banyak untuk ke kawasan Timur Tengah. Kalau boleh jujur, romantika juga menjadi dasar terciptanya kebijakan ini. Romantika perang dingin.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<a href="http://2.bp.blogspot.com/-r87OfzQlBXg/VXUQNIj5UmI/AAAAAAAAAGM/K0VjjNBVz9I/s1600/peta-perang-dingin.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="241" src="http://2.bp.blogspot.com/-r87OfzQlBXg/VXUQNIj5UmI/AAAAAAAAAGM/K0VjjNBVz9I/s400/peta-perang-dingin.jpg" width="400" /></a><span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Dalam hal ini, Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan wilayah geografis terbesar di Asia Tenggara, belum mengambil kebijakan penting soal keamanan. Padahal, pada tahun 2013, Australia, sebagai sekutu AS, dalam White Security Defense-nya telah mengeluarkan kebijakan Indo-Pacific Region. Yakni, kebijakan untuk bekerjasama secara keamanan dengan seluruh negara di Samudera Hindia dan Pasifik, sebagai tindak lanjut dari kebijakan keamanan AS di kawasan itu.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Kebijakan Jokowi yang hendak menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, memang telah memberi angin segar bagi bangsa ini dalam bersikap. Tapi, itupun akan sia-sia belaka bila tak segera didukung dengan infrastruktur yang baik. Seperti alutista yang memadai. Karena, menjadi poros maritim tentunya tak hanya soal membakar kapal penangkap ikan yang ilegal, lalu memberitakannya di pelbagai media.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Poros maritim tentunya bukan istilah abal-abal, yang dipakai sekenanya atas dasar romantika bahwa nenek moyang kita seorang pelaut. Melainkan sebuah gagasan besar, yang untuk mewujudkannya dibutuhkan kajian mendalam dan usaha yang ekstra keras. Dan, Jokowi, Bu Susi, dan Ryamrizad, adalah orang-orang yang bertanggungjawab untuk melakukannya.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Jangan sampai, seperti halnya soal pendidikan, negeri ini cuma bisa dibilang sebagai bangsa yang kecanduan romantika. Kalau Cina siap berkonfrontasi dengan banyak negara demi memperjuangkan kenangannya, mengapa bangsa ini tidak? Atau, jangan-jangan sebenarnya romantika kita adalah sebagai bangsa yang terjajah, yang selalu manut dan inferior di hadapan bangsa asing, dan kisah Majapahit dan Sriwijaya itu hanya dongeng tanpa kebenaran?</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">*****</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Romantika, kata teman saya, memang selalu memilukan. Apalagi dalam kondisi berhadapan dengan mantan. Hanya air mata yang mampu menjadi jawaban. Tapi tidak bagi insan yang benar-benar bermental juara. Mereka yang tak menganggap masa lalu sebagai sebuah hal yang mesti diratapi, melainkan sebuah pijakan untuk dapat berdiri tegak di atas podium masa depan yang gemilang.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Menurutnya, kunci untuk mampu menjadi insan semacam itu, adalah dengan berani menentukan sikap, dan bertanggungjawab atas sikap yang diambil.</span></span><br />
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;"><br /></span></span>
<span style="color: #a5a8b2; font-family: Georgia, Arial;"><span style="background-color: white; font-size: 13px; letter-spacing: -0.100000001490116px; line-height: 20.7999992370605px;">Dalam konteks Indonesia, kalau kita belum benar-benar siap menjadi poros maritim dunia, mengapa tidak mencoba menjadi poros kretek dunia? Nyatanya, kretek telah membuktikan diri tak hanya sekadar romantika belaka, tapi harapan bagi kedaulatan perekonomian bangsa di masa depan!</span></span><br />
<br />
<br />
<div>
<br /></div>
Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-38469063044666292652014-04-22T06:57:00.000-07:002015-06-07T20:35:28.219-07:00Kazemachi Roman dan Hal Yang Dapat Diabaikan<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 16px;">Oleh: <a href="http://ricardotaufano-afreethinker.blogspot.com/" target="_blank">Ricardo Taufano</a></span></div>
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Akhir-akhir ini saya memiliki
masalah dalam berkonsentrasi, saya tidak tau apakah itu merupakan efek dari
banyaknya tugas yang harus saya selesaikan atau mungkin semacam kecemasan yang
tidak beralasan mengingat saya memiliki <i>panic
disorder.</i> Saya selalu mendengarkan musik untuk mengatasi kendala ini,
semacam relaksasi murah bermodalkan playlist di iTunes saya. Hal ini seringkali
menyelamatkan saya untuk tidak terlihat sebagai orang tolol (atau mungkin pada
dasarnya saya adalah orang yang sebenarnya tolol).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Musik dipercaya dapat membantu
konsentrasi dan memberikan efek relaksasi bagi yang mendengarkan. Banyak studi
yang membahas mengenai kaitan antara mendengarkan musik dan tingkat
produktifitas dalam bekerja. Dalam sebuah artikel yang saya baca di sebuah
situs bernama <i>listen to the world </i>yang
berjudul “<i>Working With the Music On: How
to Pick the Right Music for the Right Task</i>”, disebutkan bahwa otak manusia
bereaksi secara berbeda terkait jenis musik yang didengarkan. Untuk membantu
daya konsentrasi, musik tanpa lirik atau musik dengan lirik yang menggunakan
bahasa yang tidak kita mengerti merupakan pilihan yang baik untuk membantu
konsentrasi. <i>I need to hear something
that I can ignore, </i>jika diartikan secara gamblang.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Ketika kita mengerjakan sesuatu
sembari mendengarkan musik, sebenarnya otak kita bekerja secara <i>multitasking. </i>Kemampuan membaca dan
mengingat kita bekerja ketika kita mendengarkan musik, terutama dengan lirik
yang terdapat dalam sebuah lagu. Sebenarnya lirik dalam lagu yang kita
dengarkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kemampuan menulis dan
membaca kita. Coba saja kerjakan sebuah <i>essay</i>
sembari mendengarkan lagu <i>Wouldn’t it be
Nice </i>dari grup musik <i>The Beach Boys, </i>nada
dan liriknya yang <i>catchy </i>pasti tanpa
kita sadari mempengaruhi kemampuan konsentrasi untuk menulis dan membaca.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Malam minggu kemarin, ketika
menghadiri acara <i>Record Store Day </i>di
sebuah <i>venue </i>di Kemang, seorang teman
mengingatkan saya tentang band folk legendaris asal Jepang yang bernama Happy
End ketika ia memutar lagu <i>Natsu Nandesu </i>dari
album <i>Kazemachi Roman </i>(1971)<i> </i>karya grup tersebut. Saya berpikir
bahwa album inilah yang perlu saya dengarkan setidaknya selama satu minggu ke
depan. Album ini, yang merupakan album kedua mereka merupakan karya yang sangat
baik dengan nuansa folk rock, ia juga menyandang peringkat pertama dalam <i>100 Greatest Japanese Rock Album of All Time </i>oleh majalah <i>Rolling Stone Japan</i>. <i>Track </i>yang terdapat dalam lagu ini
benar-benar merupakan sebuah album yang tidak biasa, perpaduan antara gaya bernyanyi
folk versi Barat serta melodi Barat yang dipadu dengan melodi khas Jepang. Mulai
dari gitar akustik yang jernih seperti di lagu <i>Kaze Wo Atsumete </i>yang sangat menyejukkan, hingga <i>slide </i>gitar menggunakan pentatonic <i>Blues </i>dalam progresi akord dominan dalam
lagu <i>Haikara Beautiful.<o:p></o:p></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><i><br /></i></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> </span></i></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<i><a href="http://3.bp.blogspot.com/-1jJBeYX1qeE/U1Z0M0K6bYI/AAAAAAAAAFU/0oBEvpet6XE/s1600/download.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-1jJBeYX1qeE/U1Z0M0K6bYI/AAAAAAAAAFU/0oBEvpet6XE/s1600/download.jpg" /></a></i></div>
<i> </i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Saya
tidak mau repot-repot membicarakan tentang album terakhir mereka <i>(Happy End – 1973) </i>dimana mereka
memutuskan untuk membubarkan diri karena rasa frustasi akan kekecewaan mereka
dengan sesi rekaman di sebuah studio di Los Angeles. <i>Kazemachi Roman </i>yang saya bicarakan sudah cukup untuk menggambarkan
setidaknya, musikalitas grup ini secara keseluruhan.<o:p></o:p></span><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Kembali
dengan pilihan musik yang tepat terkait artikel yang saya sebutkan sebelumnya,
artikel tersebut menyarankan untuk mendengarkan lagu tanpa lirik seperti
lagu-lagu instrumental karya Lee Ritenour, Pat Metheney, atau mungkin lagu <i>Three To Get Ready </i>karya Dave Brubeck
Quartet dan tentu saja, lagu dengan lirik yang bahasanya tidak kita mengerti,
seperti <i>Kazemachi Roman </i>dari Happy
End ini, mengingat saya tidak bisa atau mengerti bahasa negeri Sakura tersebut.
Lagu-lagu dalam <i>Kazemachi Roman </i>yang
tentu saja menggunakan bahasa Jepang, terasa seperti angin lalu di telinga
saya, terlepas dari komposisi yang apik dan tata vokal yang harmonis. Album ini
benar-benar album yang pantas untuk didengarkan berkali-kali (sebelum saya
merasa bosan tentunya).<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> Bahkan ketika menulis tulisan ini,
saya sembari memutar <i>Kazemachi Roman </i>karya
Happy End di <i>playlist </i>iTunes saya. Band
yang aktif dari tahun 1969 hingga 1972 dan dijuluki <i>“Japanese Beatles” </i>ini sukses membuat saya setidaknya, atau mungkin
hanya perasaan saya saja, sedikit dapat berkonsentrasi terhadap tugas-tugas
akademis yang sedang saya kerjakan. Saya dapat dengan tenang menulis ataupun
membaca sembari mendengarkan musik tanpa takut akan usaha alam bawah sadar saya
untuk berusaha mengingat atau menghafal lirik yang dinyanyikan. Kemasan musik
yang apik dengan lirik yang tidak saya mengerti seolah memenuhi kebutuhan saya
akan sesuatu yang dapat saya abaikan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-pLOgruwmMYE/U1Zz6XXQniI/AAAAAAAAAFM/9RYJfRVo8wY/s1600/542.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="220" src="http://1.bp.blogspot.com/-pLOgruwmMYE/U1Zz6XXQniI/AAAAAAAAAFM/9RYJfRVo8wY/s1600/542.jpg" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">I’m hearing something that I can
ignore, not to disrespect to the people who made it, but for enjoying the
ignorance to a whole new level.<o:p></o:p></span></i></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<i><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"> <o:p></o:p></span></i></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">N.B
: Sementara saya mengerjakan tulisan ini sembari mendengarkan <i>Kazemachi Roman, </i>teman sebelah kamar
saya memutar lagu-lagu dari grup Payung Teduh dengan volume yang samar-samar
terdengar hingga ke kamar saya.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">
<br /></div>
Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-89263910604716078682014-01-14T02:25:00.000-08:002015-06-07T20:35:43.027-07:00SemakBelukar Yang Patut Dikenang<i>pastinya dia bukanlah</i><br />
<i>sesuatu yang dibentuk</i><br />
<i>dan juga pasti bukanlah</i><br />
<i>esensi yang dibatasi</i><br />
<i><br /></i>
<i>selalu ada tanpa jeda</i><br />
<i>tanpa awal dan akhir</i><br />
<i><br /></i>
<i>pastinya kita adalah</i><br />
<i>sesuatu yang dibentuk</i><br />
<i>dan juga pasti adalah</i><br />
<i>esensi yang dibatasi</i><br />
<i><br /></i>
<i>kita ada dan berjeda</i><br />
<i>ada awal dan akhir</i><br />
<br />
(Semakbelukar, ‘Awal dan Akhir’. Album ‘Semoga Kita Mati dalam Iman’.)<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://1.bp.blogspot.com/-Y_zFvOCLNhA/UtUPOf1ayxI/AAAAAAAAADM/Afn_E_oN-3k/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="265" src="http://1.bp.blogspot.com/-Y_zFvOCLNhA/UtUPOf1ayxI/AAAAAAAAADM/Afn_E_oN-3k/s400/images.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(image from google)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<br />
Segala sesuatu yang ada di dunia ini—makhluk hidup dan benda mati—pasti punya awal dan akhir. Untuk itu kita mengenal masa, jangka waktu dalam rotasi kehidupan dunia. Bagi makhluk hidup, masa adalah misteri dan perlombaan. Dalam suatu masa tak dapat ditebak kapan mula dan akhirnya. Kelahiran dan kematian datang secara tiba-tiba. Sehingga banyak yang berlomba, untuk menjadi yang terdepan dalam suatu masa, sebelum datang ajal, sebelum lahir makhluk-makhluk baru yang memberatkan perlombaan.<br />
<br />
Manusia adalah makhluk hidup yang paling gemar mencatat perjalanan sebuah masa. Mungkin, karena hanya manusia yang diberi anugerah oleh Tuhan untuk melakukannya. Demi torehan catatan kehidupan inilah, manusia saling berlomba tebal-menebalkan, bagus-membaguskan, tenar-menenarkan catatannya. Maka, tak heran jika dalam prosesnya sering terjadi gesekan diantara sesama manusia. Semua demi satu penghargaan. 'Dikenang'.<br />
<br />
Perihal ‘dikenang’, kali ini saya akan mengulas tentang sebuah grup musik yang fenomenal namun singkat masanya, sehingga layak mendapatkan penghargaan itu. <i>SemakBelukar</i>. Grup musik ini beraliran <i>folk</i>. Tapi, jangan harap kalian akan mendengar lagu-lagu sejenis karya <i>Sisir Tanah, Payung Teduh, Float,</i> bahkan <i>Iwan Fals</i>. Yang semuanya berkiblat kepada <i>folk revivalist</i>. Namun, kalian akan mendengar nuansa musik <i>folk</i> yang lain. Melayu. Dalam lagu-lagu mereka. Jangan pula disamakan dengan <i>ST 12, Wali,</i> atau <i>Hijau Daun</i> yang selama ini dianggap sebagai grup music beraliran Melayu. Melayu <i>SemakBelukar</i> berbeda. Tradisional. Pemilihan aliran ini tak mengherankan, jika melihat daerah asal mereka, Palembang, Sumatera Selatan. Justru yang mengherankan, adalah keberanian mereka <i>nyemplung</i> ke dunia indsutri musik dengan aliran ini, yang berbeda dari kebanyakan grup lain di dalamnya.<br />
<br />
Grup musik yang digawangi oleh David Hersya dan kawan-kawan ini, sukses mengawali perjalanannya di dunia musik sejak tahun 2009. Tiga album dan satu <i>single</i> telah mereka keluarkan: <i>Semoga Kita Mati Dalam Iman</i> (2009), <i>Mekar Mewangi</i> (2009), <i>single</i> “<i>Sayang Selayak</i>” (2012) -versi gubahan dari lagu rakyat tradisi Lahat, Sumatera Selatan-, <i>Drohaka</i> (2012) dan <i>Semak Belukar</i> (2013). Seluruh karya itu, sukses menjadikan mereka sebagai bahan perbincangan di kalangan musisi dan penikmat musik di negeri ini. Lantaran mereka nyaris tak punya teman yang sealiran.<br />
<br />
David Hersya, sebagai vokalis patut diberi nilai lebih. Karena, seluruh lirik lagu karya <i>SemakBelukar</i> adalah buah ilhamnya, termasuk aransir musiknya. David sukses mempertahankan nuansa dan nilai Melayu yang agamis dalam seluruh karyanya. Tak heran jika seluruh lagu <i>SemakBelukar</i>, berisi pesan-pesan moral dan pesan untuk taat kepada agama. Seperti halnya musisi tradisional Melayu lain.<br />
<br />
Dalam album <i>Semoga Kita Mati Dalam Iman</i> (2009), kelima lagu yang ada di dalamnya berisi pesan moral dan taat beragama. Bahkan agar selalu ingat pada kematian. Menurut saya, album ini cukup berkesan. Selain karena pesan dalam lagu-lagunya, juga pada cara penulisan liriknya yang puitis, sederhana, dan tidak vulgar. Sangat berbeda dengan kebanyakan musisi yang membuat lagu-lagu religi. David mampu membuat lirik yang dapat membuka hati pendengar tanpa harus mendobraknya dengan kalimat yang menusuk, cukup dengan sindiran. Sindiran sebagai salah satu budaya lisan Melayu, mampu diwujudkan oleh David dalam bentuk lirik yang kuat. Salah satunya pada lirik yang saya kutip di bagian awal tulisan ini.<br />
<br />
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-CvRvYWB5EaE/UtUPZSH-B5I/AAAAAAAAADg/6QAHhkiB_jE/s1600/semakbelukar+kineruku.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="308" src="http://4.bp.blogspot.com/-CvRvYWB5EaE/UtUPZSH-B5I/AAAAAAAAADg/6QAHhkiB_jE/s320/semakbelukar+kineruku.jpg" width="320" /></a>Namun, sayang sekali, <i>SemakBelukar</i> sudah tak akan berkarya lagi. Kini, meski lagu-lagunya masih tetap dapat kita dengarkan lewat berbagai media, jangan harap kita akan dapat melihat konsernya secara langsung. Mereka telah menyatakan diri untuk bubar. Tepatnya sejak 08 Desember 2013, dalam sebuah konser paripurna bertajuk “Dendang Petang” di Kineruku, Bandung. Konser tersebut dikemas dengan apik dan <i>epic</i>. Sebuah salam perpisahan yang intim dengan <i>Belukaria</i>, fans mereka. Nuansa sedih pun terwujud saat itu. Pengunjung yang tak terlalu ramai, berhasil melepas sekat antara yang hendak berpisah dan yang ditinggal. Di ujung konser, <i>SemakBelukar</i> melakukan sebuah aksi yang cukup fenomenal. Menghancurkan alat music mereka. Hal ini sangat mirip dengan yang dilakukan oleh <i>Pink Floyd</i> dan <i>Jimmy Hendrix</i> di ujung konser terbaik mereka, dan membuat keduanya cukup ‘dikenang’ sebagai musisi yang fenomenal hingga saat ini. Mungkin, pemilihan salam perpisahan semacam ini, juga dipilih <i>SemakBelukar</i> agar mereka tetap ‘dikenang’. Ya, ‘dikenang’. Kata ini adalah yang terbaik bagi mereka. Karena, meski sudah berbulan lamanya sejak konser malam itu, saya pun tak dapat melupakannya. Selain karena saat itu kali pertama saya melihat konser mereka secara langsung.<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://3.bp.blogspot.com/-YoK0SuP4-RI/UtUPZKnmcCI/AAAAAAAAADc/2jk6SzzXa_M/s1600/semakbelukar1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://3.bp.blogspot.com/-YoK0SuP4-RI/UtUPZKnmcCI/AAAAAAAAADc/2jk6SzzXa_M/s400/semakbelukar1.jpg" width="300" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><i>Alat-alat musik yang dihacurkan.</i></td></tr>
</tbody></table>
<br />
Terakhir, yang patut digaris bawahi atas kebubaran mereka, adalah statement dari David, sang vokalis, saat konser malam itu, “kebubaran kami, bukan lantaran kami sudah kehabisan ide untuk berkarya atau karena ada sebuah masalah internal. Permasalahannya hanya satu, kami tak mau terus-menerus jadi sampah publik, dan pada akhirnya karya-karya kami dengan segala pesan di dalamnya, hanya menjadi klise. Kami hadir karena kami merasa perlu untuk hadir. Kami bubar karena kami merasa perlu untuk bubar. Semua punya awal dan akhir. Kami pun begitu.”. Meski, kebubaran mereka adalah sebuah penanda hilangnya salah satu <i>avant-garde</i> musik Indonesia, namun saya tetap setuju dengan pernyataan David. Sudah selayaknya dan seharusnya begitulah manusia. Tak boleh berakhir sebagai klise. Karena manusia yang klise tak layak ‘dikenang’. (end) <br />
<br />
Oleh: <a href="http://ahsanridhoi.blogspot.com/" target="_blank">Muhammad Ahsan Ridhoi</a><br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-18257101582776558192014-01-12T15:19:00.001-08:002015-06-07T20:36:03.068-07:00Menangkal Pidato Retak Penguasa<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://soundcloud.com/ssrtnh" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" target="_blank"><img alt="https://soundcloud.com/ssrtnh" border="0" height="400" src="http://4.bp.blogspot.com/-ZsnV2EoEjp0/UtMgTB_a76I/AAAAAAAAAC8/pfBT-H5eo88/s1600/sisir+tanah.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(Image from google)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Oleh: <a href="http://ahsanridhoi.blogspot.com/" target="_blank">Muhammad Ahsan Ridhoi</a><br />
<br />
Suatu hal yang sangat khas pada seorang pemimpin negara, adalah pidatonya. Menjadi suatu hal yang selalu ditunggu oleh seluruh rakyat. Entah untuk dikritik atau diapresiasi. Sehingga, tak jarang seorang pemimpin negara amat disegani dan dikenang, karena pidatonya. Atau sebaliknya, seorang pemimpin negara dapat dianggap plin-plan, tak tegas, juga karena pidatonya.<br />
<br />
Di negara ini misalnya, rakyat dapat mengenang seorang Soekarno, karena pidatonya yang selalu berapi-api. Namun, di sisi lain, rakyat dapat dengan mudah menghakimi Megawati, hanya karena cara pidatonya yang membosankan. Meski, masih banyak juga rakyat negara ini, yang menilai seroang pemimpin negara, bukan dari cara ia berpidato. Melainkan dari isi pidatonya. Karena memang seharusnya begitu. Menjadi percuma, jika seorang pemimpin negara dapat berpidato dengan berapi-api, namun tak tepat sasaran secara isi. Klise. Lebih jauh lagi, ada pula segelintir rakyat, yang menilai seorang pemimpin negara, pada perwujudan dari isi pidatonya. Tindakan nyata.<br />
<br />
Saya sendiri, tanpa merendahkan salah satu pandangan masyarakat terhadap seorang pemimpin negara. Lebih setuju pada cara pandang yang terakhir. Meski pidato bagi seorang pemimpin negara adalah vital. Karena dengan cara itulah rakyat dapat mengetahui gambaran kebijakan yang akan diambil. Namun, bagi saya ada yang lebih penting untuk diperhatikan, kerja nyata. Pemimpin bukanlah seorang yang hanya handal be-retorika saja. Melainkan juga bertindak. Dan untuk itu ia disebut pemimpin.<br />
<br />
Namun, pada kenyataannya, kini banyak pemimpin yang hanya pandai be-retorika. Saja. Dengan pidato yang disusun sedemikian rupa, seorang pemimpin berharap dapat terus mengambil simpati, dari hati rakyatnya. Sehingga, pidato yang disampaikan, tak lebih dari omong kosong belaka. Bualan.<br />
<br />
Berdasar pada latar kenyataan seperti itu. Menyadarkan rakyat, akan pentingnya menilai sorang pemimpin dari kinerjanya, menjadi penting. Misi ini yang coba diusung oleh ‘Sisir Tanah’. Sebuah grup band beraliran <i>folk</i> asal Jogjakarta. Dalam salah satu lagunya yang berjudul <i>Pidato Retak</i>.<br />
<br />
Sisir Tanah, seperti yang ditulis oleh Aris Setyawan di <i>Jakartabeat.net</i>. Merupakan grup band yang minimalis, hanya bermodalkan gitar bolong. Namun, tingkat musikalitasnya tak ompong. Sang vokalis, Bagus Dwi Danto, yang juga seorang penyair. Membuat lagu-lagu <a href="https://soundcloud.com/ssrtnh" target="_blank">Sisir Tanah</a> sangat menyihir pendengarnya. Baik dari segi lirik maupun komposisinya. Termasuk pada lagu <i>Pidato Retak</i>.<br />
<br />
Ketika pertama kali saya mendengar lagu ini, saya anggap penciptanya sudah gila. Gila bukan dalam arti yang sesungguhnya. Melainkan gila karena lepas dari kungkungan tralis besi keseragaman. Pada menit pertama, kita telah bisa menangkap makna ‘retak’. Dari suara pengamen dan pedagang asongan, yang sangat kontras dengan suara pidato Presiden Soekarno. Oleh karenanya, saya anggap keputusan dari Danto dan kawan-kawan, untuk memasukkan suara-suara itu di awal lagu, adalah tepat. Sehingga, pendengar pun akan langsung paham. Dan lirik yang ada pada menit-menit setelahnya pun, akan semakin kuat maknanya. Tak kehilangan detil.<br />
<br />
Kegilaan Sisir Tanah, dalam menjelaskan makna retak. Juga terlihat pada bagian akhir lagu. Di sini lah menurut saya gong dari lagu ini. Puncak segala kritik yang dilontarkan kepada presiden. Yang hanya bermanis retoris tanpa ada kinerja taktis. Omong kosong belaka. Gong ini mereka tabuh dengan sangat kuat dan menggelegar, dengan sebuah puisi yang dibaca cepat. Mengikuti irama lagu. <i>“Telepon genggam diaktifkan, doa diaktifkan, harapan diaktifkan / doa palsu diaktifkan, hey ada ranjang masih goyang / alat kelamin dinonaktifkan, puisi dicetak rapi, mahasiswa mogok makan”</i>—dan seterusnya.<br />
<br />
Gong yang bergelegar itu, ditabuh hampir tanpa jeda. Seperti serentetan peluru yang terus menerus ditembakkan ke jantung seorang pemimpin. Sehingga dapat dipastikan, jika itu adalah peluru, pemimpin itu akan tewas seketika. Tak sempat meminta maaf atas kelalaiannya. Namun, karena lagu ini tak bermisi untuk menghabisi pemimpin yang lalim. Melainkan untuk menyadarkan khalayak, agar tak mudah percaya pada pidato presiden, yang kebanyakan retak. Maka di akhir puisi, sebuah sindiran kepada rakyat, yang masih mengukur penghormatan kepada presiden, dari kecakapannya dalam berpidato pun dilontarkan. <i>”Tuan dan nyonya belajar logika sudah sampai mana?”</i>. Terus melengking hingga menit terakhir lagu ini.<br />
<br />
Kenapa harus belajar logika? Pertanyaan inilah, yang mula-mula singgah dalam benak saya. Sehingga, membuat saya sempat memutar berulang kali bagian akhir lagu ini. Sungguh tak dapat dinyana memang, ide dari Danto dalam lagu ini. Sebuah ide, yang menurut saya sangat visioner. Tak ada yang pernah berpikir tentang pengajaran logika, pada masyarakat. Karena ternyata, kelas menengah sekalipun masih gagap logika dalam menangkap sesuatu hal. Terbukti dengan banyaknya kelas menengah, yang semakin ngehe. Berlagak bak seorang konglomerat dan orang yang paling benar. Namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari korban penjajahan logis dari kaum kapitalis. Sedangkan kunci bagi tumbuh kembangnya sebuah masyarakat yang utuh, adalah pada kemapanan logikanya. Seperti yang dikemukakan oleh <i>Paulo Freire</i>, dari jauh hari. <br />
Pidato seorang presiden selamanya akan tetap lumrah, bersama keretakannya. Dan yang bisa menyelamatkan negeri ini, adalah mereka yang bisa memilah. Menyisir kata demi kata, makna demi makna, janji demi janji, rayu demi rayu dengan logika. Bukan air mata di akhir cerita. Penyesalan. (end)Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-49689793630897433292014-01-06T02:58:00.000-08:002015-06-07T20:36:18.851-07:00Sejenak Mengenang Nasida Ria<br />
Oleh: <a href="http://ahsanridhoi.blogspot.com/" target="_blank">Muhammad Ahsan Ridhoi</a><br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-HzItR6zslas/UsqLpNFKozI/AAAAAAAAACs/wDDKi3hInMg/s1600/nasida+ria.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="275" src="http://2.bp.blogspot.com/-HzItR6zslas/UsqLpNFKozI/AAAAAAAAACs/wDDKi3hInMg/s1600/nasida+ria.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(Image from google) </td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
Bicara soal politik di 2014 adalah penting. Sama pentingnya dengan bicara soal Nasida Ria. Kenapa Nasida Ria? Ya, karena grup musik qasidah modern ini adalah salah satu legenda hidup musik Indonesia. Pionir bagi tumbuh kembangnya grup musik dengan aliran sejenis dan termasuk dalam deretan musisi pemerhati fenomena sosial, yang kini mulai terlupakan. Maka penting kiranya membicarakan mereka kembali.<br />
<br />
Grup musik yang mempunyai personel sembilan orang wanita ini, terbentuk pada tahun 1975 oleh HM Zain, seorang guru qiraah dari Semarang, Jawa Tengah. Mulanya mereka adalah grup nasyid, hanya memainkan alat musik rebana dan musik-musik Timur Tengah. Namun, setelah mendapat bantuan dari Bupati Semarang pada masa itu, yang juga penggemar mereka, berupa alat musik dan pelajaran musik. Pada akhirnya mereka pun menjadi grup musik yang matang. Dengan tambahan sentuhan alat musik modern seperti gitar, bas, organ, dan biola<br />
<br />
Album pertama Nasida Ria dirilis pada tahun 1978. Saat itu, lagu di album tersebut masih di dominasi oleh lagu-lagu berbahasa Arab. Namun, selepas album ketiga, mereka mulai membuat lagu-lagu berbahasa Indonesia. Pada beberapa album berbahasa Indonesia itu, mereka banyak bicara soal aneka ragam kehidupan masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Boleh dibilang mereka adalah grup musik Indonesia yang paling lengkap dan visioner bicara soal itu.<br />
<br />
Pada masa perang teluk misalnya, mereka menciptakan lagu-lagu seperti Perdamaian dan Bom Nuklir. Keduanya bertemakan bahaya perang. Hingga kini kedua lagu itu pun masih sering kita perdengarkan di berbagai media, baik televisi, radio, maupun online. Khusus untuk lagu Perdamaian merupakan salah satu lagu paling populer dari mereka. Bahkan, band seperti GIGI pun sempat memasukkan lagu itu dalam salah satu albumnya. Dengan sentuhan musik ala GIGI sekalipun lagu itu masih enak didengarkan.<br />
<br />
Merekapun bicara soal pers, lewat lagu Wartawan Ratu Dunia. Seperti yang kita ketahui, tak banyak musisi Indonesia yang bicara soal pers. Atau mungkin tak ada sama sekali. Ini jelas membuktikan, bahwa mereka jauh lebih visioner daripada musisi lain. Pada lagu ini, mereka sudah mewantikan besarnya pengaruh media bagi dunia. Seperti yang tertuang dalam liriknya:<br />
<i><br /></i>
<i>Ratu dunia ratu dunia, oh wartawan ratu dunia</i><br />
<i>Apa saja kata wartawan mempengaruhi pembaca koran</i><br />
<i><br /></i>
<i>Bila wartawan memuji, dunia ikut memuji</i><br />
<i>Bila wartawan mencaci, dunia ikut membenci</i><br />
<i>Wartawan dapat membina, pendapat umum di dunia</i><br />
<br />
Tingkat kevisioneran Nasida Ria terbukti kembali pada lagu Tahun Dua Ribu. Lagu itu mereka ciptakan pada tahun 1993. Dan sudah dapat melihat fenomena sosial tujuh tahun kedepan dari tahun lagu itu diciptakan. Seperti halnya lagu Wartawan Ratu Dunia, lagu ini berisikan anjuran dan wanti-wanti dalam liriknya, seperti berikut ini:<br />
<br />
t<i>ahun duaribu tahun harapan,</i><br />
<i>yang penuh tantangan dan mencemaskan</i><br />
<i>wahai pemuda dan para remaja,</i><br />
<i>ayo siapkan dirimu</i><br />
<i>siapkan dirimu, siap ilmu siap iman</i><br />
<i>siap</i><br />
<i><br /></i>
<i>tahun duaribu kerja serba mesin,</i><br />
<i>berjalan berlari menggunakan mesin</i><br />
<i>manusia tidur berkawan mesin,</i><br />
<i>makan dan minum dilayani mesin</i><br />
<i>sungguh mengagumkan tahun duaribu</i><br />
<i>namun demikian penuh tantangan</i><br />
<br />
Masih banyak soal lain yang dibicarakan oleh Nasida Ria dalam berbagai lagunya, lingkungan hidup, kemiskinan, bahkan bencana. Semua dikemas dalam lagu-lagu bernada apik dan lirik yang menggugah. Perihal pemilihan aliran musik qasidah itu tak jadi soal. Karena musik tak kenal batas untuk menyampaikan sebuah pesan. Aliran musik hanya soal logat bicara saja. Dan qasidah adalah logat mereka.<br />
<br />
Namun, kini Nasida Ria bak tertelan zaman. Tak terdengar lagi gaungnya. Bahkan bagi generasi muda sekarang, nama mereka sangat asing. Terkecuali bagi yang lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren atau di Semarang. Nasida Ria bukan barang asing.<br />
<br />
Ditengah maraknya arus industri musik dengan persaingannya yang semakin ketat, Nasida Ria tersingkir. Bukan mati. Hanya tersingkir. Nyatanya mereka masih mengeluarkan album hingga tahun 2010. Album terakhir mereka berjudul Cahaya Ilmu. Namun album itu tak selaris album-album sebelumnya. Kalah dengan album band-band yang liriknya terkesan murahan yang semakin marak, di dunia musik Indonesia.<br />
<br />
Ditambah lagi adanya pandangan dalam lingkup generasi muda sekarang, yang menganggap lagu-lagu qasidah itu norak alias kuno. Sehingga generasi muda saat ini pun semakin enggan untuk mendengarkan lagu-lagu qasidah, termasuk Nasida Ria. Usia personel yang semakin lanjut pun jadi masalah yang menghambat produktifitas mereka. Apalagi beberapa personel telah meninggal dunia. Meski begitu, itu bukan penanda kematian Nasida Ria. Karena lagu-lagu mereka tetap hidup dan menggema di banyak telinga dan hati sebagian besar masyarakat Indonesia Nasida Ria tetap ria dengan segala riuh rendahnya.<br />
<br />
Akankah lahir penerus Nasida Ria? Mari kita tunggu bersama. Selama zaman terus bergerak dan hari masih berganti, segalaya mungkin terjadi.<br />
<br />Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-89695791445623166492014-01-05T11:01:00.001-08:002015-06-07T20:36:44.542-07:00Theme Song Tahun 2014 <br />
Oleh: <a href="http://ricardotaufano-afreethinker.blogspot.com/" target="_blank">Ricardo Taufano</a><br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-vZ9qYDg5HcA/Usmrr-UduTI/AAAAAAAAACA/6KfA66GaBCY/s1600/besok+bubar.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="300" src="http://2.bp.blogspot.com/-vZ9qYDg5HcA/Usmrr-UduTI/AAAAAAAAACA/6KfA66GaBCY/s400/besok+bubar.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(Image from google)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
Menjelang tahun 2014 (Desember akhir) kemarin, seorang teman meminta saya untuk menyebutkan satu lagu yang cocok untuk menjadi lagu tema tahun politik 2014. Tentu saja pilihan saya langsung jatuh pada lagu “Awas!” dari Besok Bubar, sebuah band Grunge asal Jakarta yang terbentuk tahun 2005 silam. Lagu ini juga yang pertama kali saya dengarkan dari album Besok Bubar.<br />
<br />
Rasa suka saya terhadap band ini membawa saya ke dalam <i>moshpit</i> saat mereka diundang untuk bermain secara live di salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Massa ikut bernyanyi dan berteriak khususnya pada lagu “Awas!”, dikemas dalam <i>sound</i> yang tebal dan keras, terdapat amarah dan apatisme dalam lagu ini. Amarah dan apatisme terhadap kondisi politik Indonesia, Besok Bubar mengingatkan kita untuk lebih cerdas dalam memilih pemimpin yang akan dilakukan melalui Pemilihan Umum tahun 2014 ini.<br />
<br />
Dalam <i>verse</i> pertama, lagu ini menyuarakan penolakan terhadap korupsi dan bagaimana pemerintah bersikap lembek terhadap budaya korup. Hal ini mengingat Indonesia menduduki peringkat ke-64 sebagai negara paling korup di dunia. Prestasi ini dapat tercapai berkat upaya dari para “tikus-tikus berdasi”. Istilah klise ini tetap saya gunakan mengingat para “tikus” masih menggunakan alasan-alasan klise sebagai dalih untuk mencapai kursi kekuasaan.<br />
<br />
Di Indonesia, seseorang dapat mencalonkan diri sebagai seorang pemimpin, meskipun memiliki <i>track record </i>sebagai orang yang korup. Dan mereka dapat dengan tebal muka memasang wajah mereka di pohon dan billboard jalan raya, berbicara tentang perubahan. Perilaku yang rasa-rasanya tidak tahu malu.<br />
<br />
Disinilah lagu “Awas!” dari Besok Bubar mengingatkan melalui reff lagunya yang berbunyi:<br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
<i>Lima tahun sekali</i><br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"><i> </i></span><br />
<i>Janji seribu janji</i><br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"><i> </i></span><br />
<i>Lima tahun sekali</i><br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"><i> </i></span><br />
<i>Awas tertipu lagi</i><br />
<br />
Tahun 2014 adalah tahun politik. Masyarakat Indonesia akan menggelar pesta demokrasi untuk menentukan pemimpin negara selama lima tahun ke depan. Kita dituntut untuk memilih calon pemimpin yang paling baik, dan untuk itu, kita wajib untuk mengetahui kapabilitas calon yang kita pilih.<br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
Masyarakat Indonesia tidak butuh seorang pemimpin yang berpotensi untuk menjadi seorang diktator. Kita juga tidak membutuhkan pemimpin yang merupakan seorang mafia pajak. Indonesia membutuhkan seorang pemimpin yang didasarkan atas kecintaannya terhadap Indonesia beserta segala aspek yang terdapat di dalamnya.<br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
Lima tahun bukanlah waktu yang sebentar. Kita akan kehilangan waktu sebanyak itu jika kita salah dalam memilih pemimpin. Sedangkan kita dapat memperjuangkan Indonesia untuk menjadi negara yang lebih baik jika kita memanfaatkan waktu lima tahun tersebut dengan pemimpin yang tepat.<br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
Kita sebagai rakyat harus menyadari kekuatan yang kita miliki. Di negara demokrasi khususnya, rakyat merupakan orang-orang yang berhak memilih pemimpinnya. Jika kita hanya termakan iming-iming melalui “serangan fajar”, saya yakin Indonesia akan mengalami hambatan dalam berkembang, dan pada titik ekstrem, Indonesia dapat meningkatkan peringkatnya sebagai negara paling korup di dunia.<br />
<span class="Apple-tab-span" style="white-space: pre;"> </span><br />
Kembali pada theme song yang sedang saya bahas, Besok Bubar mengimbau kita untuk menjadi pemilih yang cerdas. Kita harus menggunakan hak kita secara bijaksana, setidaknya dengan mengenali calon pemimpin yang akan kita pilih. Karena jika kita tertipu oleh seribu janji, kita akan terus jalan di tempat. Atau bahkan mengalami kemunduran.<br />
<div>
<br /></div>
Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-84373284738989425332013-12-29T13:57:00.004-08:002015-06-07T20:36:56.574-07:00Fenomena Rindu dan Generasi Menolak Lupa<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://4.bp.blogspot.com/-Mk0gnQUa-ik/UsCaondPx6I/AAAAAAAAABw/1Brcvz42L8I/s1600/munir_by_pensilkertas-d39d150.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="400" src="http://4.bp.blogspot.com/-Mk0gnQUa-ik/UsCaondPx6I/AAAAAAAAABw/1Brcvz42L8I/s400/munir_by_pensilkertas-d39d150.jpg" width="281" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(Image from google)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
Oleh:<a href="http://ricardotaufano-afreethinker.blogspot.com/" target="_blank"> Ricardo Taufano</a><br />
<br />
Beberapa tahun kebelakang, banyak terlihat di tembok pinggir jalan, truk ataupun T-Shirt, tulisan atau <br />
gambar yang berisi kerinduan akan pemimpin pada masa Orde Baru, Soeharto. Zaman yang dirindukan ketika sembako, kesejahteraan dan keamanan terjamin. Zaman yang pada satu sisi merenggut kebebasan berpendapat, zaman dimana terdapat pembungkaman massal, zaman yang mencekam. Tiga puluh dua tahun negara ini berada dalam kepemimpinan Presiden Soeharto, dan tanpa mengurangi rasa hormat, selama itu pula negara ini menjadi negara demokrasi yang rasa-rasanya hanya omong kosong. Bahkan banyak dari para aktivis yang menjadi korban penculikan Tim Mawar dan Kopassus.<br />
<br />
Pasca kejatuhan Soeharto, kasus penculikan para aktivis ini menjadi alasan Danjen Kopassus yang saat ini mencalonkan diri sebagai Presiden, dan Tim Mawar. Hal ini mencapai momentum ketika seorang laki-laki keturunan Arab, Munir Said Thalib sebagai seorang aktivis pengiat HAM di Indonesia yang dengan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) terbunuh saat dalam penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda. Insiden ini terjadi pada 7 September 2004.<br />
<br />
Orde Baru, yang dielu-elukan sebagai zaman dimana terdapat kesejahteraan, minimnya tindak korupsi, disisi lain juga merupakan zaman dimana kebenaran selalu ditutup-tutupi. Dan Munir, dengan gerakannya berusaha untuk memperjuangkan hak daripada korban dan hak sebagai rakyat Indonesia. Semangat dan sosok Munir merupakan hal yang inspiratif. Ia merupakan inspirasi dari orang-orang yang optimis.<br />
<br />
Empati dan rasa optimisme ini telah menginspirasi banyak orang di Indonesia, khususnya anak muda untuk menolak lupa. Mereka menolak lupa akan apa yang terjadi pada masa Orde Baru, mereka menolak lupa teman-teman mereka yang hilang dan menjadi korban kekerasan. Dan tidak sedikit pula yang menjadikan Munir sebagai inspirasi dalam menghasilkan sebuah karya seni. Sebut saja Efek Rumah Kaca, dengan lagu “Di Udara” yang mengajak kita untuk berkontemplasi tentang bagaimana rasanya ketika kebebasan terenggut, dan bagaimana hidup pada sebuah zaman yang mencekam. Musisi lain yang juga menjadikan Munir sebagai inspirasi, ialah Endah N’ Rhesa, dalam lagunya yang berjudul “A Thousand Candles Lighted”, yang menyampaikan semangat dari perjuangan Munir. Lagu ini, seperi yang disampaikan Endah N’ Rhesa pada sebuah radio arus utama, didedikasikan untuk keluarga dan teman-teman yang ditinggalkan Munir. Sekaligus menyampaikan bagaimana semangat ini harus terus ada.<br />
<br />
Sikap untuk menolak lupa ini akan terus disampaikan, baik dalam bentuk seni maupun dengan gerakan sosial. Kita menolak lupa untuk memperingati Hari Munir. Semangat untuk menunjukkan bagaimana seharusnya kebebasan dan keadilan dapat dilindungi oleh para pemegang tampuk kekuasaan. Ya, kami tidak merindukan tindakan opresi pemerintah ataupun bersihnya kasus korupsi, tapi kebebasan media dibatasi. Yang kami rindukan adalah sosok dan semangat untuk terus memperjuangkan apa yang seharusnya menjadi hak serta kebenaran. (End)<br />
<div>
<br /></div>
Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-5198890112906384265.post-52829912274946907792013-12-16T15:23:00.000-08:002015-06-07T20:37:06.814-07:00Gurita Bukan Lawan Jenis (Sebuah kritik dari ERK Eleniak)<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="http://2.bp.blogspot.com/-ekBslZxF2SM/Uq-KMged9dI/AAAAAAAAABk/d1W6qXI7Db4/s1600/efek-rumah-kaca-logo.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="357" src="http://2.bp.blogspot.com/-ekBslZxF2SM/Uq-KMged9dI/AAAAAAAAABk/d1W6qXI7Db4/s400/efek-rumah-kaca-logo.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">(Cover album pertama ERK)</td></tr>
</tbody></table>
<br />
Oleh: <a href="http://ahsanridhoi.blogspot.com/2013/12/efek-rumah-kaca-masih-inferno-sebuah.html" target="_blank">M. Ahsan Ridhoi</a><br />
<br />
<br />
Siapa yang tak kenal Efek Rumah Kaca (ERK)? Sebuah band indie asli Jakarta. Terkenal karena lirik lagunya yang penuh makna, sarat dengan pesan-pesan moral yang luhur. Maka, tak heran jika mayoritas fans dari ERK—yang sering dikenal dengan ERK Eleniak—dari kalangan terpelajar. Terutama kalangan mahasiswa, yang secara pemikiran masih idealis dan kritis.<br />
<br />
Sebut saja lagu berjudul ‘Di udara’, yang menyimpan dukungan terhadap tegaknya Hak Asasi Manusia. Menurut Cholil, pencipta lagu sekaligus vokalis ERK, lagu tersebut sengaja di dedikasikan untuk mengenang Munir. Seorang aktivis HAM yang terbunuh di pesawat beberapa tahun lalu. Dalam lagu tersebut, dengan piawai Cholil menyihir setiap kata menjadi sebuah cerita. Lalu, ketika dikombinasikan dengan nada merdu, yang sesuai dengan aliran musik yang mereka anut, jadilah sebuah lagu yang indah dan penuh pesan moral di dalamnya.<br />
<br />
ERK sangat piawai dalam membuat lirik dan aransemen musik yang berkualitas. Tidak hanya pada seputar lagu-lagu yang berlatar belakang kritik sosial saja. Melainkan dalam menciptakan lagu bertemakan cinta. ERK mampu menciptakan sebuah lagu cinta yang tak kampungan, dari segi lirik, maupun aransemen musik. Seperti lagu berjudul ‘Desember’. Di sini lah, kadar musikalitas dan kepenyairan personel ERK yang tinggi, terlihat. Terutama Cholil, yang hampir semua lirik lagu ERK yang begitu indah lahir dari tangannya. Alhasil, banyak pengamat musik yang memuji karya-karya ERK. Penggemar ERK pun semakin bertambah banyak. Tersebar ke seulurh pelosok negeri. Seolah ERK adalah sebuah grup musik major label.<br />
<br />
Namun, diantara sekian banyak lagu hasil karya ERK. Ada sebuah lagu ERK yang patut mendapatkan kritik. Bukan dari segi aransemen musik. Melainkan pada pesan yang terkandung di dalamnya. Yaitu, lagu yang berjudul ‘Bukan lawan jenis’. Yang merupakan salah satu lagu pada album pertama mereka. Berjudul ‘Efek Rumah Kaca’.<br />
<br />
Bagi saya, lirik dalam lagu ‘Bukan lawan jenis’, mengandung unsur diskriminasi terhadap kaum yang memiliki disorientasi perilaku sex. Adapun lirik lagu tersebut adalah sebagai berikut:<br />
<br />
Aku bertemu kamu dalam gelap<br />
Aku menuntunmu menuju terang<br />
Menuju terang dari gelap malam<br />
Kamu simpan gambarku dalam hati<br />
Dalam mimpi dan di dalam hati<br />
Dalam mimpi dan di dalam hati<br />
<br />
Aku takut kamu suka pada diriku<br />
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu<br />
<br />
Kita bertemu muka lagi<br />
Hanya menatap tanpa bahasa<br />
<br />
Tanpa isyarat memendam tanya<br />
Masihkah aku di dalam mimpimu<br />
Aku takut kamu suka pada diriku<br />
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu<br />
Maaf aku pernah mengisi relung hatimu<br />
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu.<br />
<br />
Dalam bait-bait yang ada dalam lirik lagu tersebut. Menurut pemaknaan saya, ERK seolah tengah bercerita. Tentang seseorang yang ingin menyadarkan sahabatnya dari disorientasi perilaku sex. Dalam cerita tersebut, sang teman tengah berusaha untuk menyadarkan temannya. Ia memiliki sebuah ketakutan, bahwa sahabat yang akan disadarkannya, akan jatuh cinta kepadanya. Sedangkan, mereka berdua berjenis kelamin sama. Seolah sang teman tidak menghendaki cinta yang dirasakan oleh sahabatnya, bagi dirinya itu merupakan suatu hal yang tidak wajar.Harus dihindari. Sehingga cinta sang sahabat pun bertepuk sebelah tangan.<br />
<br />
Pada tataran ini lah—tanpa merendahkan keindahan lirik yang tercipta—pesan pada lagu tersebut harus dikritik. Karena, sesuai dengan apa yang saya maknai dari lirik lagu itu, ERK masih terjebak pada ruang yang inferno. Yaitu, sebuah keadaan yang masih menganggap bahwa sebuah perilaku deviant, baik dari individu maupun kelompok, adalah sebuah perilaku yang terlarang.<br />
<br />
Sedangkan menurut Hebdige, seorang pakar semiotika Barat yang pernah melakukan sebuah penelitian tentang fenomena punk. Seseorang yang masih terjebak dalam kondisi inferno, adalah jauh dari keadaan paradiso. Sebuah keadaan ketika seseorang telah mencapai puncak kenikmatan. Atau dalam arti yang lain, yaitu ketika seseorang tidak lagi didikte oleh pendapat umum.<br />
<br />
Maka, bisa dikatakan, ERK masih terdikte oleh pendapat umum. Menurut Hebdige, pendapat umum dapat berasal dari sebuah norma dan nilai yang dominan di lingkungan asal individu atau kelompok yang terdikte. Mengingat para personel ERK berasal dari Indonesia, yang masih menganggap hubungan sejenis adalah sesuatu yang dilarang atau tabu. Dianggap bertentangan dengan budaya dan norma agama mayoritas yang ada di Indonesia. Sehingga wajar, apabila ERK pun berpandangan sama dengan mayoritas orang Indonesia. Sangat berbeda dengan Amerika, yang sejak kemodernan melanda, konsep tabu dalam hubungan antar masyarakat berangsur menghilang. Telah mencapai definisi yang baru. Tak lagi memandang hubungan sejenis sebagai sesuatu yang terlarang. Bahkan, sebuah peraturan undang-undang yang melegalkan pernikahan sejenis pun disahkan.<br />
<br />
Namun, kritik ini tidak sekalipun terbesit di dalamnya sebuah upaya untuk menggeser budaya dan norma serta nilai—baik sosial maupun agama—yang telah tertanam sejak lama di negeri ini. Melainkan, ditujukan demi adanya sebuah keselarasan hidup diantara sesama. Sebuah keadaan hidup bernegara yang rukun. Bukan sebuah kehidupan yang penuh dengan perpecahan antar individu maupun golongan, atas dasar apapun.<br />
<br />
ERK, sebagai sebuah grup musik terbentuk pada tahun 2001 dan telah memiliki banyak penggemar. Diharapkan bisa lebih bijak dalam menciptakan lagu. Menghindari terciptanya lagu yang mendiskreditkan suatu unsur masyarakat tertentu. Karena, musik, atau karya seni apapun. Merupakan sebuah alat paling cepat untuk melakukan konstruksi pemahaman dan pola berpikir sebuah masyarakat. Bahkan untuk menciptakan sebuah budaya baru. Dalam artian, apabila hal itu tidak disadari oleh ERK dan musisi atau seniman lain. Maka, bukan tidak mungkin, karena karya mereka yang mendiskreditkan perilaku individu atau kelompok tertentu. Akan membuat individu atau kelompok tersebut diasingkan oleh masyarakat yang mengamini pandangan mereka. Bahkan dalam keadaan terburuk, genosida pun dapat terjadi. Tentu berbagai kekacauan itu sangat kita hindari, agar rak terjadi di negeri yang terkenal toleran ini.<br />
<br />
Terakhir, tanpa meruntuhkan kehebatan karya ERK yang lain, yang kritis dan peka terhadap segala permasalahan sosial yang ada. Saya berharap bahwa ERK beserta musisi dan seniman yang lain—sebagai tonggak budaya—untuk bersama bahu membahu menghindarkan negeri ini dari berbagai konflik, atas nama apapun. Salah satunya dengan ikut mengabarkan pada masyarakat, bahwa segala perbedaan yang ada bukanlah alasan bagi kita untuk saling jauh-menjauhi satu sama lain. Melainkan, segala perbadaan tersebut merupakan sebuah kebanggan bagi bangsa ini. Tak lepas dari struktur masyarakatnya yang beragam. Terdiri dari banyak suku, budaya, bahasa, ras, bahkan ideologi.<br />
<br />
Kembali kepada fokus kritik saya. Seharusnya kita bangga, bahwa kekerasan yang terjadi pada pelaku penyimpangan perilaku sex di Indonesia, lebih sedikit dibanding Amerika. Maka, jangan sampai keadaan yang sudah baik itu kita runtuhkan sendiri. Melalui konstruksi gagasan dengan alat musik—seperti yang dilakukan oleh ERK—atau bentuk karya seni lainnya. Bahkan, jika kita sanggup, angka kekerasan itu tidak perlu ada. Baik orang yang suka sejenis maupun yang suka dengan lawan jenis akan hidup rukun. Itulah cinta yang sesungguhnya. Tak pandang latar belakang, harta, maupun kasta. [end]Sounds Freehttp://www.blogger.com/profile/01842967889376550027noreply@blogger.com0