(Cover album pertama ERK)

Oleh: M. Ahsan Ridhoi


Siapa yang tak kenal Efek Rumah Kaca (ERK)? Sebuah band indie asli Jakarta. Terkenal karena lirik lagunya yang penuh makna, sarat dengan pesan-pesan moral yang luhur. Maka, tak heran jika mayoritas fans dari ERK—yang sering dikenal dengan ERK Eleniak—dari kalangan terpelajar. Terutama kalangan mahasiswa, yang secara pemikiran masih idealis dan kritis.

Sebut saja lagu berjudul ‘Di udara’, yang menyimpan dukungan terhadap tegaknya Hak Asasi Manusia. Menurut Cholil, pencipta lagu sekaligus vokalis ERK, lagu tersebut sengaja di dedikasikan untuk mengenang Munir. Seorang aktivis HAM yang terbunuh di pesawat beberapa tahun lalu. Dalam lagu tersebut, dengan piawai Cholil menyihir setiap kata menjadi sebuah cerita. Lalu, ketika dikombinasikan dengan nada merdu, yang sesuai dengan aliran musik yang mereka anut, jadilah sebuah lagu yang indah dan penuh pesan moral di dalamnya.

ERK sangat piawai dalam membuat lirik dan aransemen musik yang berkualitas. Tidak hanya pada seputar lagu-lagu yang berlatar belakang kritik sosial saja. Melainkan dalam menciptakan lagu bertemakan cinta. ERK mampu menciptakan sebuah lagu cinta yang tak kampungan, dari segi lirik, maupun aransemen musik. Seperti lagu berjudul ‘Desember’. Di sini lah, kadar musikalitas dan kepenyairan personel ERK yang tinggi, terlihat. Terutama Cholil, yang hampir semua lirik lagu ERK yang begitu indah lahir dari tangannya. Alhasil, banyak pengamat musik yang memuji karya-karya ERK. Penggemar ERK pun semakin bertambah banyak. Tersebar ke seulurh pelosok negeri. Seolah ERK adalah sebuah grup musik major label.

Namun, diantara sekian banyak lagu hasil karya ERK. Ada sebuah lagu ERK yang patut mendapatkan kritik. Bukan dari segi aransemen musik. Melainkan pada pesan yang terkandung di dalamnya. Yaitu, lagu yang berjudul ‘Bukan lawan jenis’. Yang merupakan salah satu lagu pada album pertama mereka. Berjudul ‘Efek Rumah Kaca’.

Bagi saya, lirik dalam lagu ‘Bukan lawan jenis’, mengandung unsur diskriminasi terhadap kaum yang memiliki disorientasi perilaku sex.  Adapun lirik lagu tersebut adalah sebagai berikut:

Aku bertemu kamu dalam gelap
Aku menuntunmu menuju terang
Menuju terang dari gelap malam
Kamu simpan gambarku dalam hati
Dalam mimpi dan di dalam hati
Dalam mimpi dan di dalam hati

Aku takut kamu suka pada diriku
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu

Kita bertemu muka lagi
Hanya menatap tanpa bahasa

Tanpa isyarat memendam tanya
Masihkah aku di dalam mimpimu
Aku takut kamu suka pada diriku
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu
Maaf aku pernah mengisi relung hatimu
Karna memang aku bukanlah lawan jenismu.

Dalam bait-bait yang ada dalam lirik lagu tersebut. Menurut pemaknaan saya, ERK seolah tengah bercerita. Tentang seseorang yang ingin menyadarkan sahabatnya dari disorientasi perilaku sex. Dalam cerita tersebut, sang teman tengah berusaha untuk menyadarkan temannya. Ia memiliki sebuah ketakutan, bahwa sahabat yang akan disadarkannya, akan jatuh cinta kepadanya. Sedangkan, mereka berdua berjenis kelamin sama. Seolah sang teman tidak menghendaki cinta yang dirasakan oleh sahabatnya, bagi dirinya itu merupakan suatu hal yang tidak wajar.Harus dihindari. Sehingga cinta sang sahabat pun bertepuk sebelah tangan.

Pada tataran ini lah—tanpa merendahkan keindahan lirik yang tercipta—pesan pada lagu tersebut harus dikritik. Karena, sesuai dengan apa yang saya maknai dari lirik lagu itu, ERK masih terjebak pada ruang yang inferno. Yaitu, sebuah keadaan yang masih menganggap bahwa sebuah perilaku deviant, baik dari individu maupun kelompok, adalah sebuah perilaku yang terlarang.

Sedangkan menurut Hebdige, seorang pakar semiotika Barat yang pernah melakukan sebuah penelitian tentang fenomena punk. Seseorang yang masih terjebak dalam kondisi inferno, adalah jauh dari keadaan paradiso. Sebuah keadaan ketika seseorang telah mencapai puncak kenikmatan. Atau dalam arti yang lain, yaitu ketika seseorang tidak lagi didikte oleh pendapat umum.

Maka, bisa dikatakan, ERK masih terdikte oleh pendapat umum. Menurut Hebdige, pendapat umum dapat berasal dari sebuah norma dan nilai yang dominan di lingkungan asal individu atau kelompok yang terdikte. Mengingat para personel ERK berasal dari Indonesia, yang masih menganggap hubungan sejenis adalah sesuatu yang dilarang atau tabu. Dianggap bertentangan dengan budaya dan norma agama mayoritas yang ada di Indonesia. Sehingga wajar, apabila ERK pun berpandangan sama dengan mayoritas orang Indonesia. Sangat berbeda dengan Amerika, yang sejak kemodernan melanda, konsep tabu dalam hubungan antar masyarakat berangsur menghilang. Telah mencapai definisi yang baru. Tak lagi memandang hubungan sejenis sebagai sesuatu yang terlarang. Bahkan, sebuah peraturan undang-undang yang melegalkan pernikahan sejenis pun disahkan.

Namun, kritik ini tidak sekalipun terbesit di dalamnya sebuah upaya untuk menggeser budaya dan norma serta nilai—baik sosial maupun agama—yang telah tertanam sejak lama di negeri ini. Melainkan, ditujukan demi adanya sebuah keselarasan hidup diantara sesama. Sebuah keadaan hidup bernegara yang rukun. Bukan sebuah kehidupan yang penuh dengan perpecahan antar individu maupun golongan, atas dasar apapun.

ERK, sebagai sebuah grup musik terbentuk pada tahun 2001 dan telah memiliki banyak penggemar. Diharapkan bisa lebih bijak dalam menciptakan lagu. Menghindari terciptanya lagu yang mendiskreditkan suatu unsur masyarakat tertentu. Karena, musik, atau karya seni apapun. Merupakan sebuah alat paling cepat untuk melakukan konstruksi pemahaman dan pola berpikir sebuah masyarakat. Bahkan untuk menciptakan sebuah budaya baru. Dalam artian, apabila hal itu tidak disadari oleh ERK dan musisi atau seniman lain. Maka, bukan tidak mungkin, karena karya mereka yang mendiskreditkan perilaku individu atau kelompok tertentu. Akan membuat individu atau kelompok tersebut diasingkan oleh masyarakat yang mengamini pandangan mereka. Bahkan dalam keadaan terburuk, genosida pun dapat terjadi. Tentu berbagai kekacauan itu sangat kita hindari, agar rak terjadi di negeri yang terkenal toleran ini.

Terakhir, tanpa meruntuhkan kehebatan karya ERK yang lain, yang kritis dan peka terhadap segala permasalahan sosial yang ada. Saya berharap bahwa ERK beserta musisi dan seniman yang lain—sebagai tonggak budaya—untuk bersama bahu membahu menghindarkan negeri ini dari berbagai konflik, atas nama apapun. Salah satunya dengan ikut mengabarkan pada masyarakat, bahwa segala perbedaan yang ada bukanlah alasan bagi kita untuk saling jauh-menjauhi satu sama lain. Melainkan, segala perbadaan tersebut merupakan sebuah kebanggan bagi bangsa ini. Tak lepas dari struktur masyarakatnya yang beragam. Terdiri dari banyak suku, budaya, bahasa, ras, bahkan ideologi.

Kembali kepada fokus kritik saya. Seharusnya kita bangga, bahwa kekerasan yang terjadi pada pelaku penyimpangan perilaku sex di Indonesia, lebih sedikit dibanding Amerika. Maka, jangan sampai keadaan yang sudah baik itu kita runtuhkan sendiri. Melalui konstruksi gagasan dengan alat musik—seperti yang dilakukan oleh ERK—atau bentuk karya seni lainnya. Bahkan, jika kita sanggup, angka kekerasan itu tidak perlu ada. Baik orang yang suka sejenis maupun yang suka dengan lawan jenis akan hidup rukun. Itulah cinta yang sesungguhnya. Tak pandang latar belakang, harta, maupun kasta. [end]