Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Pekerjaan apa pula kolumnis itu? Tak banyak orang yang tahu tentang pekerjaan ini. Berbeda dengan pegawai negeri atau diplomat. Bahkan komunis lebih tenar dari kolumnis. Padahal keduanya beda-beda tipis saja. Cukup pada huruf 'l' dan letak beberapa huruf saja. Selebihnya tak ada beda.

Ya, pada dasarnya keduanya memang tak ada beda. Terutama di negeri ini. Keduanya sama-sama dipinggirkan peradaban oleh rezim yang menyebut dirinya Orde Baru. Tidak punya tenar, bahkan cenderung dilupakan.

Seorang komunis, di negeri ini bagaikan penderita kista nasibnya. Dijauhi. Baik oleh perorangan maupun sistem. Kalau kata iklan layanan masyarakat di negeri ini, "awas bahaya laten komunis". Semua karena politik. Pemimpin rezim yang bernama Orba itu, punya alergi pada komunis. Hanya lantaran dalam benaknya, komunis adalah musuh Pancasila. Ideologi yang konon asli milik bangsa ini. Sehingga, semua yang ada hubungannya dengan komunis, wajib disingkirkan dari struktur masyarakat negeri ini.

Lho, sejak kapan Pancasila punya musuh? Sejak kapan bangsa ini suka cari musuh? Bukankah bangsa ini orangnya ramah-ramah?

Saya sendiri bingung mencari jawaban semua pertanyaan itu. Karena, saya masih yakin bangsa ini cukup ramah pada apapun. Bahkan pada penjajahan. Terbukti, 350 tahun dijajah ya tetap santai-santai saja. Atau, bahkan sampai sekarang? Entahlah.

Lagipula, tetap tak elok kiranya bila bangsa ini sampai memerangi satu ideologi tertentu. Ide, selamanya akan sebatas di dalam kepala saja. Tak dapat memberontak. Kecuali ada oknum-oknum yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadi.

Kalau pada kenyataannya begitu, sungguh cukuplah negeri ini menghukum para oknum itu. Bukan menghukum ideologinya. Apalagi seluruh umat yang meyakini ideologi itu. Itu namanya genosida.

Begini, bukan maksud hamba mengulik perdebatan usang soal komunis lagi. Tapi, dengan adanya fakta kelam kekejaman rezim pada para penganut faham komunisme, membuka peluang atas terjadinya hal yang sama pada kelompok-kelompok minoritas dengan ide tertentu di negeri ini. Sebut saja golongan Kejawen. Sunda Wiwitan. Ahmadiyah. Syiah. Atau bahkan Islam sebagai mayoritas sendiri.

Bagi kelompok minoritas, kita sudah banyak lihat buktinya. Kekerasan menimpa Ahmadiyah dan Syiah. Begitupun pada aliran kepercayaan macam Kejawen dan Sunda Wiwitan. Beratasnamakan apapun, kelompok-kelompok itu ditekan keberadaannya. Seperti halnya buah dada Mbak Pamela yang terus tertekan oleh sempitnya BH. Pada akhirnya, sama-sama butuh kebebasan. Butuh uluran tangan sesama juga.

Ini pula yang terjadi tatkala cara pandang sistem begitu kerdil pada sesuatu. Seperti soal terorisme. Selalu Islam yang dituduh teroris. Lantaran satu dua muslim iseng-iseng merakit bom. Padahal, masih banyak orang Islam, saya misalnya, yang suka rukun-rukun saja. Masih suka suit-suit hehe pada gadis-gadis.

Lantas bagaimana dengan kolumnis?

Oh ya hampir saja lupa. Maklum kalau sudah bahas komunis dan buah dada saya suka khilaf. Suka gak kuat menahan nafsu. Padahal inti tulisan ini kan soal kolumnis. Hehe. Maaf ya.

Baiklah, seperti yang saya katakan sebelumnya, kolumnis itu sama buruknya nasibnya dengan komunis. Sama-sama dilupakan peradaban. Tak setenar presiden atau Panglima ABRI. Terutama di jaman Orde Baru. Meskipun sekarang juga begitu.

Mengapa?

Sederhana saja, kolumnis adalah seorang yang demen nulis di kolom-kolom surat kabar. Namanya penulis, ya tentu saja bakalan jujur. Seperti kata Pramoedya, tulisan itu lebih jujur dari mulut penulisnya. Jadi, meski si penulis ini suka berbohong, tetap saja tulisannya akan jujur. Seperti perasaanku padamu, dik. Iya, kamu. Halah opo toh.

Nah, kejujuran itulah musuh utama sebuah rezim. Terutama rezim bernama Orba itu. Apalagi kalau kejujuran itu berbentuk kritik. Haram hukumnya. Bisa-bisa dibredel koran yang istiqomah memberitakan kejujuran. Tempo misalnya.

Soal kolumnisnya?

Kolumnisnya sendiri (yang jujur loh ya) dipenjarakan. Bisa macam-macam tuduhannya. Pencemaran nama baik. Melawan pemerintah. Atau melawan calon mertua. Aiih opo sih kok ke situ-situ. Pokoknya, jaman itu apapun yang tidak disuka si pemimpin ya kudu masuk bui.

Sebab itulah tak banyak orang yang berani jadi kolumnis. Pekerjaan ini kurang populer. Karena taruhannya adalah bui. Sedangkan, jadi kolumnis yang berbohong, hati nurani mereka menolak. Sehingga, ya lebih baik tidak usah daripada harus berontak pada hati nurani sendiri.

Pada jaman itu, Mahbub Djunaidi adalah salah satu kolumnis paling berani di negeri ini. Bukan bui yang membuatnya berhenti menulis. Tapi kematian. Dan itu terbukti. Ia berhenti menulis baru setelah mati. Soal kolumnis satu ini, biarlah lain waktu kuceritakan.

Lantas sekarang?

Sekarang sih memang sudah banyak kolumnis. Reformasi telah menjadi gerbang kebebasan termasuk pada pekerjaan ini. Bahkan, seperti fakta, pekerjaan ini dijunjung setinggi-tingginya derajatnya. Kolumnis wajib dibela. Begitulah.

Namun, kebebasan ini rupanya tak bikin para kolumnis baru tambah jujur. Sebaliknya, kebebasan itu mereka bikin untuk melegalkan kebohongannya. Seolah apa yang mereka lakukan itu dilindungi oleh negara.

Maka, tak heran bila kita melihat koran hari ini, cukup memuakkan. Isinya cuma berita-berita yang telah dibentuk sedemikan rupa sesuai pesanan. Dan para kolumnisnya? Tak jauh beda. Mereka cuma mempertajam kebohongan berita-berita itu dengan wajah yang liyan.

Tak semua memang. Karena masih ada kolumnis-kolumnis macam AS Laksana yang cukup konsisten dengan kejujurannya. Atau Cak Rusdi, jurnalis senior yang selalu kuat dengan perspektif pada setiap beritanya. Bahkan, di tengah semua keterbatasan itu, muncul Mojok(dot)co dan Jombloo(dot)co sebagai dwi website asuhan Puthut EA yang sama-sama mengedepankan tawa dan kejujuran dalam tulisan-tulisannya.

Terakhir, bila hari ini tukang mebel mampu jadi presiden, akankah kolumnis juga?

Hanya ada satu jawaban saya, "Ya!"

Tapi, kalau itu benar-benar terjadi, saya mohon jangan Agus Mulyadi yang jadi. Kasihan PDIP bila harus ganti jargon. Bukan lagi moncong putih, tapi moncong Mulaydi!

Tabiq!