pastinya dia bukanlah
sesuatu yang dibentuk
dan juga pasti bukanlah
esensi yang dibatasi

selalu ada tanpa jeda
tanpa awal dan akhir

pastinya kita adalah
sesuatu yang dibentuk
dan juga pasti adalah
esensi yang dibatasi

kita ada dan berjeda
ada awal dan akhir

(Semakbelukar, ‘Awal dan Akhir’. Album ‘Semoga Kita Mati dalam Iman’.)

(image from google)



Segala sesuatu yang ada di dunia ini—makhluk hidup dan benda mati—pasti punya awal dan akhir. Untuk itu kita mengenal masa, jangka waktu dalam rotasi kehidupan dunia. Bagi makhluk hidup, masa adalah misteri dan perlombaan. Dalam suatu masa tak dapat ditebak kapan mula dan akhirnya. Kelahiran dan kematian datang secara tiba-tiba. Sehingga banyak yang berlomba, untuk menjadi yang terdepan dalam suatu masa, sebelum datang ajal, sebelum lahir makhluk-makhluk baru yang memberatkan perlombaan.

Manusia adalah makhluk hidup yang paling gemar mencatat perjalanan sebuah masa. Mungkin, karena hanya manusia yang diberi anugerah oleh Tuhan untuk melakukannya. Demi torehan catatan kehidupan inilah, manusia saling berlomba tebal-menebalkan, bagus-membaguskan, tenar-menenarkan catatannya. Maka, tak heran jika dalam prosesnya sering terjadi gesekan diantara sesama manusia. Semua demi satu penghargaan. 'Dikenang'.

Perihal ‘dikenang’, kali ini saya akan mengulas tentang sebuah grup musik yang fenomenal namun singkat masanya, sehingga layak mendapatkan penghargaan itu. SemakBelukar. Grup musik ini beraliran folk. Tapi, jangan harap kalian akan mendengar lagu-lagu sejenis karya Sisir Tanah, Payung Teduh, Float, bahkan Iwan Fals. Yang semuanya berkiblat kepada folk revivalist. Namun, kalian akan mendengar nuansa musik folk yang lain. Melayu. Dalam lagu-lagu mereka. Jangan pula disamakan dengan ST 12, Wali, atau Hijau Daun yang selama ini dianggap sebagai grup music beraliran Melayu. Melayu SemakBelukar berbeda. Tradisional. Pemilihan aliran ini tak mengherankan, jika melihat daerah asal mereka, Palembang, Sumatera Selatan. Justru yang mengherankan, adalah keberanian mereka nyemplung ke dunia indsutri musik dengan aliran ini, yang berbeda dari kebanyakan grup lain di dalamnya.

Grup musik yang digawangi oleh David Hersya dan kawan-kawan ini, sukses mengawali perjalanannya di dunia musik sejak tahun 2009. Tiga album dan satu single telah mereka keluarkan: Semoga Kita Mati Dalam Iman (2009), Mekar Mewangi (2009), singleSayang Selayak” (2012) -versi gubahan dari lagu rakyat tradisi Lahat, Sumatera Selatan-, Drohaka (2012) dan Semak Belukar (2013). Seluruh karya itu, sukses menjadikan mereka sebagai bahan perbincangan di kalangan musisi dan penikmat musik di negeri ini. Lantaran mereka nyaris tak punya teman yang sealiran.

David Hersya, sebagai vokalis patut diberi nilai lebih. Karena, seluruh lirik lagu karya SemakBelukar adalah buah ilhamnya, termasuk aransir musiknya. David sukses mempertahankan nuansa dan nilai Melayu yang agamis dalam seluruh karyanya. Tak heran jika seluruh lagu SemakBelukar, berisi pesan-pesan moral dan pesan untuk taat kepada agama. Seperti halnya musisi tradisional Melayu lain.

Dalam album Semoga Kita Mati Dalam Iman (2009), kelima lagu yang ada di dalamnya berisi pesan moral dan taat beragama. Bahkan agar selalu ingat pada kematian. Menurut saya, album ini cukup berkesan. Selain karena pesan dalam lagu-lagunya, juga pada cara penulisan liriknya yang puitis, sederhana, dan tidak vulgar. Sangat berbeda dengan kebanyakan musisi yang membuat lagu-lagu religi. David mampu membuat lirik yang dapat membuka hati pendengar tanpa harus mendobraknya dengan kalimat yang menusuk, cukup dengan sindiran. Sindiran sebagai salah satu budaya lisan Melayu, mampu diwujudkan oleh David dalam bentuk lirik yang kuat. Salah satunya pada lirik yang saya kutip di bagian awal tulisan ini.

Namun, sayang sekali, SemakBelukar  sudah tak akan berkarya lagi. Kini, meski lagu-lagunya masih tetap dapat kita dengarkan lewat berbagai media, jangan harap kita akan dapat melihat konsernya secara langsung. Mereka telah menyatakan diri untuk bubar. Tepatnya sejak 08 Desember 2013, dalam sebuah konser paripurna bertajuk “Dendang Petang” di Kineruku, Bandung. Konser tersebut dikemas dengan apik dan epic. Sebuah salam perpisahan yang intim dengan Belukaria, fans mereka. Nuansa sedih pun terwujud saat itu. Pengunjung yang tak terlalu ramai, berhasil melepas sekat antara yang hendak berpisah dan yang ditinggal. Di ujung konser, SemakBelukar melakukan sebuah aksi yang cukup fenomenal. Menghancurkan alat music mereka. Hal ini sangat mirip dengan yang dilakukan oleh Pink Floyd dan Jimmy Hendrix di ujung konser terbaik mereka, dan membuat keduanya cukup ‘dikenang’ sebagai musisi yang fenomenal hingga saat ini. Mungkin, pemilihan salam perpisahan semacam ini, juga dipilih SemakBelukar agar mereka tetap ‘dikenang’. Ya, ‘dikenang’. Kata ini adalah yang terbaik bagi mereka. Karena, meski sudah berbulan lamanya sejak konser malam itu, saya pun tak dapat melupakannya. Selain karena saat itu kali pertama saya melihat konser mereka secara langsung.

Alat-alat musik yang dihacurkan.

Terakhir, yang patut digaris bawahi atas kebubaran mereka, adalah statement dari David, sang vokalis, saat konser malam itu, “kebubaran kami, bukan lantaran kami sudah kehabisan ide untuk berkarya atau karena ada sebuah masalah internal. Permasalahannya hanya satu, kami tak mau terus-menerus jadi sampah publik, dan pada akhirnya karya-karya kami dengan segala pesan di dalamnya, hanya menjadi klise. Kami hadir karena kami merasa perlu untuk hadir. Kami bubar karena kami merasa perlu untuk bubar. Semua punya awal dan akhir. Kami pun begitu.”. Meski, kebubaran mereka adalah sebuah penanda hilangnya salah satu avant-garde musik Indonesia, namun saya tetap setuju dengan pernyataan David. Sudah selayaknya dan seharusnya begitulah manusia. Tak boleh berakhir sebagai klise. Karena manusia yang klise tak layak ‘dikenang’. (end)

 Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi