Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Bung Karno dalam bukunya 'Di Bawah Bendera Revolusi' pernah berkata, bangsa yang besar adalah yang punya romantika. Pendapat ini tak lain muncul dalam konteks membangkitkan semangat revolusi bangsa Indonesia kala itu. Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan lain di negeri ini menjadi romantika yang dimaksud untuk diulangi kejayaannya.

Baiklah, bangsa ini memang telah besar sejak dahulu kala. Cucu Jenghis Khan, Kubilai Khan, pun tak mampu menaklukkan bangsa ini.  Sebaliknya, utusan yang dikirim olehnya harus pulang membawa malu atas penghinaan yang diberikan Kertanegara dengan melukai wajahnya. Juga, begitulah nasib Jenderal Mallaby. Sebagai seorang jenderal besar yang belum sekalipun kalah di beberapa perang besar, ia harus mati di tangan arek-arek Suroboyo yang mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

Seluruh kejadian itu, sekali lagi, kini telah menjadi romantika. Dongeng yang ditulis dalam buku sejarah maupun disampaikan dari lisan ke lisan. Sehingga, setiap anak bangsa yang baru lahir senantiasa memiliki kebanggaan atas tanah air dan moyangnya. Dan, ketika ditanya siapa nenek moyang mereka, dengan lantang   mereka kan menjawab: nenek moyangku pelaut, pejuang, dan penguasa.

Namun, nyatanya romantika tak selamanya membesarkan. Melainkan bisa juga mengkerdilkan dan membikin malu. Terutama apabila kita terlalu larut di dalamnya. Kecanduan. Seperti kata Cak Nun, kecanduan, meskipun pada hal baik, adalah sesuatu yang harus dihindari. Bila tidak, niscaya kita akan menjadi manusia yang selalu sakaw. Sedangkan, orang sakaw itu mudah dipengaruhi dan terjerumus.

Dapat dikatakan, hari ini kita tengah menjadi bangsa yang sakaw. Setiap bicara bangsa, kita pasti berbicara romantika masa lalu. Tidak hanya masyarakat awam, pemikir dan politisi di negeri ini pun sama. Lihat saja pada setiap kampanye pemilu tahun 2014. Baik Jokowi dan Prabowo sama-sama menjadikan romantika masa lalu sebagai barang jualan utama di etalase kampanye mereka.

Untuk yang satu itu, saya sangat miris melihat Prabowo. Tak hanya soal jargon, hingga gaya pun ia harus mengimitasi Bung Karno. Padahal seorang pemimpin mestilah punya karakter sendiri. Bahkan bila itu mlenya-mlenye seperti Jokowi. Toh, buktinya karena kemlenya-mlenyeannya itulah ia menang. Ia telah membuktikan pada rakyat mampu menjadi diri sendiri. Ya, meskipun kini setelah terpilih ia menjadi sedikit ambivalen.

Hal lain yang membuktikan kesakawan bangsa ini pada romatika masa lalu, adalah ketika membicarakan soal-soal pembangunan. Selalu saja, di tengah keterpurukan di pelbagai sektor, kita menghibur diri dengan segala pencapaian di masa lalu. Cukup di situ, tanpa ada usaha untuk membenahinya. Atau, paling mentok berantem soal anggaran yang hanya berujung panjangnya antrean jadwal sidang di pengadilan Tipikor.

Misalnya soal pendidikan, kita selalu bangga bahwa dulu kita adalah guru bagi rakyat negeri Jiran. Pelajar-pelajar Malaysia berbondong-bondong belajar ke negeri ini. Dan, kebanggan semacam ini bertahan berpuluh tahun lamanya, hingga secara tak sadar kwalitas sekolah dan kampus kita telah tertinggal jauh dari mereka.

Saya memang sengaja tidak bicara soal kwalitas pemikiran pelajar kita dengan mereka. Karena, saya masih yakin pemikiran anak bangsa ini masih jauh lebih unggul. Tapi, apalah artinya kwalitas pemikiran yang unggul tanpa ditopang infrastruktur dan sitem yang baik? Saya pikir, untuk yang satu ini kita wajib sama-sama memikirkan jawabannya.

Soal romantika, nampaknya bukan hanya persoalan bangsa ini saja. Cina, bangsa yang disebut sebagai 'The New Emerging Power', pun mengalaminya. Dengan menggunakan sisa-sia manuskrip Dinasti Ming sebagai pembenaran, bangsa itu melakukan klaim terhadap keseluruhan wilayah Laut Cina Selatan. Alhasil, Cina pun harus menuai sengketa dengan Filipina dan beberapa negara lain di Asia Pasifik yang kebetulan punya perbatasan di Laut Cina Selatan.

Menurut berita terbaru, seperti halnya yang dilansir harian Kompas hari ini, Filipina meminta dukungan kepada Jepang perihal sengketa wilayah ini. Menanggapi permintaan itu, Jepang pun menggelar latihan perang gabungan dengan Filipina untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II.

Dengan begitu, dapat dikatakan security dilemma di kawasan Asia Pasifik pun terjadi. Bukan tidak mungkin konflik terbuka di kawasan pun akan segera terjadi. Mengingat, antara Jepang dan Cina pun sebenarnya telah memiliki konflik lama yang hingga kini belum terselesaikan sejak Perang Dunia II. Terlebih, situasi bisa semakin memanas karena Jepang telah memutuskan untuk merevisi UU pertahanan mereka yang hanya membolehkan negara itu memiliki self defense army.

Belum lagi AS yang sejak tahun 2011 telah menerapkan kebijakan New Containment Policy di kawasan Asia Pasifik. Sebuah kebijakan penambahan angkatan perang AS di kawasan itu, yang selama ini lebih banyak untuk ke kawasan Timur Tengah. Kalau boleh jujur, romantika juga menjadi dasar terciptanya kebijakan ini. Romantika perang dingin.

Dalam hal ini, Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan wilayah geografis terbesar di Asia Tenggara, belum mengambil kebijakan penting soal keamanan. Padahal, pada tahun 2013, Australia, sebagai sekutu AS, dalam White Security Defense-nya telah mengeluarkan kebijakan Indo-Pacific Region. Yakni, kebijakan untuk bekerjasama secara keamanan dengan seluruh negara di Samudera Hindia dan Pasifik, sebagai tindak lanjut dari kebijakan keamanan AS di kawasan itu.

Kebijakan Jokowi yang hendak menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, memang telah memberi angin segar bagi bangsa ini dalam bersikap. Tapi, itupun akan sia-sia belaka bila tak segera didukung dengan infrastruktur yang baik. Seperti alutista yang memadai. Karena, menjadi poros maritim tentunya tak hanya soal membakar kapal penangkap ikan yang ilegal, lalu memberitakannya di pelbagai media.

Poros maritim tentunya bukan istilah abal-abal, yang dipakai sekenanya atas dasar romantika bahwa nenek moyang kita seorang pelaut. Melainkan sebuah gagasan besar, yang untuk mewujudkannya dibutuhkan kajian mendalam dan usaha yang ekstra keras. Dan, Jokowi, Bu Susi, dan Ryamrizad, adalah orang-orang yang bertanggungjawab untuk melakukannya.

Jangan sampai, seperti halnya soal pendidikan, negeri ini cuma bisa dibilang sebagai bangsa yang kecanduan romantika. Kalau Cina siap berkonfrontasi dengan banyak negara demi memperjuangkan kenangannya, mengapa bangsa ini tidak? Atau, jangan-jangan sebenarnya romantika kita adalah sebagai bangsa yang terjajah, yang selalu manut dan inferior di hadapan bangsa asing, dan kisah Majapahit dan Sriwijaya itu hanya dongeng tanpa kebenaran?

*****

Romantika, kata teman saya, memang selalu memilukan. Apalagi dalam kondisi berhadapan dengan mantan. Hanya air mata yang mampu menjadi jawaban. Tapi tidak bagi insan yang benar-benar bermental juara. Mereka yang tak menganggap masa lalu sebagai sebuah hal yang mesti diratapi, melainkan sebuah pijakan untuk dapat berdiri tegak di atas podium masa depan yang gemilang.

Menurutnya, kunci untuk mampu menjadi insan semacam itu, adalah dengan berani menentukan sikap, dan bertanggungjawab atas sikap yang diambil.

Dalam konteks Indonesia, kalau kita belum benar-benar siap menjadi poros maritim dunia, mengapa tidak mencoba menjadi poros kretek dunia? Nyatanya, kretek telah membuktikan diri tak hanya sekadar romantika belaka, tapi harapan bagi kedaulatan perekonomian bangsa di masa depan!