Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Kembalinya NU ke khittah 1926 pada Muktamar Situbondo tahun 1983, bukanlah sebuah hal asing lagi. Baik bagi kalangan nahdliyyin sendiri, maupun mereka yang berada di luar NU. Sejak saat itu, NU, secara resmi mengembalikan status dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan sebagaimana awal mula organisasi ini berdiri. Sekaligus menandai undur dirinya organisasi ini dalam segala bentuk kegiatan politik praktis.

Sejalan dengan keputusan tersebut, terbebaslah nahdliyyin menentukan sikap politiknya. Sebagaimana jargon yang terkenal, "NU ada di mana-mana, tapi tidak ke mana-mana." Artinya, nahdliyyin bisa berada di parpol manapun, tanpa harus mengikut sertakan NU ke dalamnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, NU sebagai partai pada pemilu 1955, dan menjadi bagian dari PPP setelah adanya kebijakan fusi partai di jaman Orba.

Dalam hal ini, PPP pun menjadi partai yang praktis sangat dirugikan. Kendati masih banyak tokoh muda NU yang bercokol di partai itu, jumlah pemilih dari nahdliyyin merosot. Hal ini terlihat jelas pada pemilu 1987. Saat itu, secara tidak langsung, dengan jargon kembali ke kultur, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil membuat suara PPP gembos. Sebaliknya, suara Golkar semakin gemuk. Pada akhirnya polemik pun terjadi di dalam tubuh NU sendiri. Seperti halnya antara KH Alwy, yang saat itu masih di PPP, dengan Gus Dur.

Pada masa seperti ini, saat berlangsung Konbes NU di Cilacap, muncullah gagasan Khittah Plus dari Mahbub Djunaidi dengan dukungan dari KH. As'ad Syamsul Arifin (Situbondo). Bahwa, sebagai jamiyah, NU pun harus memiliki sikap politik.

Mahbub beranggapan, tanpa adanya sikap politik, NU hanya akan menjadi political hostest semata. Nahdliyyin sekadar menjadi pendulang suara, namun NU tidak punya keterikatan dengan power yang didukungnya. Atau, hanya menjadi pembenar bagi kebijakan pemerintah saja. Walhasil, kepentingan nahdliyyin pun tak dapat terakomodir.

Namun, gagasan Mahbub ini ditolak oleh Konbes masa itu. Karena, Khittah Plus sama saja dengan mengembalikan NU sebagai partai. Dan itu dianggap merugikan fleksibilitas NU yang telah terbangun.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah reformasi, ketimpangan mulai terjadi. Beberapa partai berdiri mengatasnamakan NU, seperti PKB dan PNU. Dan, NU pun dituntut mengambil sikap.

Nyatanya, NU pilih kasih dalam mengambil sikap. PKB lebih dianak emaskan daripada yang lain. Hal itu membuat PNU dan partai lain yang mengatasnamakan NU pada akhirnya bubar. PKB praktis menjadi satu-satunya partai yang mengatasnamakan NU. Bahkan, dalam pemilu 2014 lalu, PKB jelas-jelas mencatut lambang NU pada baliho kampanyenya.

Bagi saya, hal ini bertentangan dengan keputusan kembali khittah. Harusnya NU tidak perlu tebang pilih semacam itu. Karena, itu membuktikan NU hanya ada di satu tempat saja: PKB. Berbanding terbalik dengan jargon bahwa NU dimana-mana.

Seharusnya, kalau memang NU tidak kemana-mana, maka tidak boleh ada satu parpolpun yang memakai lambangnya. Meskipun pada kenyataannya di situ banyak bercokol politisi nahdliyyin.

Sebaliknya, kalau NU memperbolehkan salah satu parpol memakai lambangnya, maka partai lainpun harusnya diizinkan. Misal Golkar dengan adanya Nusron Wahid, Ketua GP Ansor di situ. Atau PPP sebagai partai yang dipimpin kader NU juga.

Menurut saya, pada Muktamar Jombang Agustus nanti, persoalan seperti ini juga harus dibahas dengan serius. Demi NU tak dianggap sebagai penjilat ludah sendiri.

Selain itu, gagasan Khittah Plus juga harus dipikirkan ulang. Mengingat, dengan banyaknya politisi NU yang menjadi menteri di rezim Jokowi, adalah bukti bahwa NU telah besar secara politik. Dan, hal itu membutuhkan kejelasan politik dari NU.

Bukan tidak mungkin, 2019 akan ada nahdliyyin yang akan menjadi calon presiden. Maka, penting untuk dipikirkan dari sekarang. Bila tidak, lagi-lagi nahdliyyinlah yang akan dirugikan. Hanya menjadi keset politik penguasa saja.

Mengutip Mahbub Djunaidi, politik bukan cuma soal kekuasaan. Melainkan keberanian untuk bermasyarakat, mendengarkan suara rakyat, dan menyuarakan suara yang benar. Sebagai jamiyah keagamaan terbesar, NU memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sunggug sayang bila harus disia-siakan!

Tabiq!