https://soundcloud.com/ssrtnh
(Image from google)

Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Suatu hal yang sangat khas pada seorang pemimpin negara, adalah pidatonya.  Menjadi suatu hal yang selalu ditunggu oleh seluruh rakyat. Entah untuk dikritik atau diapresiasi. Sehingga, tak jarang seorang pemimpin negara amat disegani dan dikenang, karena pidatonya. Atau sebaliknya, seorang pemimpin negara dapat dianggap plin-plan, tak tegas, juga karena pidatonya.

Di negara ini misalnya, rakyat dapat mengenang seorang Soekarno, karena pidatonya yang selalu berapi-api. Namun, di sisi lain, rakyat dapat dengan mudah menghakimi Megawati, hanya karena cara pidatonya yang membosankan. Meski, masih banyak juga rakyat negara ini, yang menilai seroang pemimpin negara, bukan dari cara ia berpidato. Melainkan dari isi pidatonya. Karena memang seharusnya begitu. Menjadi percuma, jika seorang pemimpin negara dapat berpidato dengan berapi-api, namun tak tepat sasaran secara isi. Klise. Lebih jauh lagi, ada pula segelintir rakyat, yang menilai seorang pemimpin negara, pada perwujudan dari isi pidatonya. Tindakan nyata.

Saya sendiri, tanpa merendahkan salah satu pandangan masyarakat terhadap seorang pemimpin negara. Lebih setuju pada cara pandang yang terakhir. Meski pidato bagi seorang pemimpin negara adalah vital. Karena dengan cara itulah rakyat dapat mengetahui gambaran kebijakan yang akan diambil. Namun, bagi saya ada yang lebih penting untuk diperhatikan, kerja nyata. Pemimpin bukanlah seorang yang hanya handal be-retorika saja. Melainkan juga bertindak. Dan untuk itu ia disebut pemimpin.

Namun, pada kenyataannya, kini banyak pemimpin yang hanya pandai be-retorika. Saja. Dengan pidato yang disusun sedemikian rupa, seorang pemimpin berharap dapat terus mengambil simpati, dari hati rakyatnya. Sehingga, pidato yang disampaikan, tak lebih dari omong kosong belaka. Bualan.

Berdasar pada latar kenyataan seperti itu. Menyadarkan rakyat,  akan pentingnya menilai sorang pemimpin dari kinerjanya, menjadi penting. Misi ini yang coba diusung oleh ‘Sisir Tanah’. Sebuah grup band beraliran folk asal Jogjakarta. Dalam salah satu lagunya yang berjudul Pidato Retak.

Sisir Tanah, seperti yang ditulis oleh Aris Setyawan di Jakartabeat.net. Merupakan grup band yang minimalis, hanya bermodalkan gitar bolong. Namun, tingkat musikalitasnya tak ompong. Sang vokalis, Bagus Dwi Danto, yang juga seorang penyair. Membuat lagu-lagu Sisir Tanah sangat menyihir pendengarnya. Baik dari segi lirik maupun komposisinya. Termasuk pada lagu Pidato Retak.

Ketika pertama kali saya mendengar lagu ini, saya anggap penciptanya sudah gila. Gila bukan dalam arti yang sesungguhnya. Melainkan gila karena lepas dari kungkungan tralis besi keseragaman. Pada menit pertama, kita telah bisa menangkap makna ‘retak’. Dari suara pengamen dan pedagang asongan, yang sangat kontras dengan suara pidato Presiden Soekarno. Oleh karenanya, saya anggap keputusan dari Danto dan kawan-kawan, untuk memasukkan suara-suara itu di awal lagu, adalah tepat. Sehingga, pendengar pun akan langsung paham. Dan lirik yang ada pada menit-menit setelahnya pun, akan semakin kuat maknanya. Tak kehilangan detil.

Kegilaan Sisir Tanah, dalam menjelaskan makna retak. Juga terlihat pada bagian akhir lagu. Di sini lah menurut saya gong dari lagu ini. Puncak segala kritik yang dilontarkan kepada presiden. Yang hanya bermanis retoris tanpa ada kinerja taktis. Omong kosong belaka. Gong ini mereka tabuh dengan sangat kuat dan menggelegar, dengan sebuah puisi yang dibaca cepat. Mengikuti irama lagu. “Telepon genggam diaktifkan, doa diaktifkan, harapan diaktifkan / doa palsu diaktifkan, hey ada ranjang masih goyang / alat kelamin dinonaktifkan, puisi dicetak rapi, mahasiswa mogok makan”—dan seterusnya.

Gong yang bergelegar itu, ditabuh hampir tanpa jeda. Seperti serentetan peluru yang terus menerus ditembakkan ke jantung seorang pemimpin. Sehingga dapat dipastikan, jika itu adalah peluru, pemimpin itu akan tewas seketika. Tak sempat meminta maaf atas kelalaiannya. Namun, karena lagu ini tak bermisi untuk menghabisi pemimpin yang lalim. Melainkan untuk menyadarkan khalayak, agar tak mudah percaya pada pidato presiden, yang kebanyakan retak. Maka di akhir puisi, sebuah sindiran kepada rakyat, yang masih mengukur penghormatan kepada presiden, dari kecakapannya dalam berpidato pun dilontarkan. ”Tuan dan nyonya belajar logika sudah sampai mana?”. Terus melengking hingga menit terakhir lagu ini.

Kenapa harus belajar logika? Pertanyaan inilah, yang mula-mula singgah dalam benak saya. Sehingga, membuat saya sempat memutar berulang kali bagian akhir lagu ini. Sungguh tak dapat dinyana memang, ide dari Danto dalam lagu ini. Sebuah ide, yang menurut saya sangat visioner. Tak ada yang pernah berpikir tentang pengajaran logika, pada masyarakat. Karena ternyata, kelas menengah sekalipun masih gagap logika dalam menangkap sesuatu hal. Terbukti dengan banyaknya kelas menengah, yang semakin ngehe. Berlagak bak seorang konglomerat dan orang yang paling benar. Namun pada kenyataannya, mereka tak lebih dari korban penjajahan logis dari kaum kapitalis. Sedangkan kunci bagi tumbuh kembangnya sebuah masyarakat yang utuh, adalah pada kemapanan logikanya. Seperti yang dikemukakan oleh Paulo Freire, dari jauh hari.  
Pidato seorang presiden selamanya akan tetap lumrah, bersama keretakannya. Dan yang bisa menyelamatkan negeri ini, adalah mereka yang bisa memilah. Menyisir kata demi kata, makna demi makna, janji demi janji, rayu demi rayu dengan logika. Bukan air mata di akhir cerita. Penyesalan. (end)