7 Juni 2015


Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Pekerjaan apa pula kolumnis itu? Tak banyak orang yang tahu tentang pekerjaan ini. Berbeda dengan pegawai negeri atau diplomat. Bahkan komunis lebih tenar dari kolumnis. Padahal keduanya beda-beda tipis saja. Cukup pada huruf 'l' dan letak beberapa huruf saja. Selebihnya tak ada beda.

Ya, pada dasarnya keduanya memang tak ada beda. Terutama di negeri ini. Keduanya sama-sama dipinggirkan peradaban oleh rezim yang menyebut dirinya Orde Baru. Tidak punya tenar, bahkan cenderung dilupakan.

Seorang komunis, di negeri ini bagaikan penderita kista nasibnya. Dijauhi. Baik oleh perorangan maupun sistem. Kalau kata iklan layanan masyarakat di negeri ini, "awas bahaya laten komunis". Semua karena politik. Pemimpin rezim yang bernama Orba itu, punya alergi pada komunis. Hanya lantaran dalam benaknya, komunis adalah musuh Pancasila. Ideologi yang konon asli milik bangsa ini. Sehingga, semua yang ada hubungannya dengan komunis, wajib disingkirkan dari struktur masyarakat negeri ini.

Lho, sejak kapan Pancasila punya musuh? Sejak kapan bangsa ini suka cari musuh? Bukankah bangsa ini orangnya ramah-ramah?

Saya sendiri bingung mencari jawaban semua pertanyaan itu. Karena, saya masih yakin bangsa ini cukup ramah pada apapun. Bahkan pada penjajahan. Terbukti, 350 tahun dijajah ya tetap santai-santai saja. Atau, bahkan sampai sekarang? Entahlah.

Lagipula, tetap tak elok kiranya bila bangsa ini sampai memerangi satu ideologi tertentu. Ide, selamanya akan sebatas di dalam kepala saja. Tak dapat memberontak. Kecuali ada oknum-oknum yang memanfaatkannya demi kepentingan pribadi.

Kalau pada kenyataannya begitu, sungguh cukuplah negeri ini menghukum para oknum itu. Bukan menghukum ideologinya. Apalagi seluruh umat yang meyakini ideologi itu. Itu namanya genosida.

Begini, bukan maksud hamba mengulik perdebatan usang soal komunis lagi. Tapi, dengan adanya fakta kelam kekejaman rezim pada para penganut faham komunisme, membuka peluang atas terjadinya hal yang sama pada kelompok-kelompok minoritas dengan ide tertentu di negeri ini. Sebut saja golongan Kejawen. Sunda Wiwitan. Ahmadiyah. Syiah. Atau bahkan Islam sebagai mayoritas sendiri.

Bagi kelompok minoritas, kita sudah banyak lihat buktinya. Kekerasan menimpa Ahmadiyah dan Syiah. Begitupun pada aliran kepercayaan macam Kejawen dan Sunda Wiwitan. Beratasnamakan apapun, kelompok-kelompok itu ditekan keberadaannya. Seperti halnya buah dada Mbak Pamela yang terus tertekan oleh sempitnya BH. Pada akhirnya, sama-sama butuh kebebasan. Butuh uluran tangan sesama juga.

Ini pula yang terjadi tatkala cara pandang sistem begitu kerdil pada sesuatu. Seperti soal terorisme. Selalu Islam yang dituduh teroris. Lantaran satu dua muslim iseng-iseng merakit bom. Padahal, masih banyak orang Islam, saya misalnya, yang suka rukun-rukun saja. Masih suka suit-suit hehe pada gadis-gadis.

Lantas bagaimana dengan kolumnis?

Oh ya hampir saja lupa. Maklum kalau sudah bahas komunis dan buah dada saya suka khilaf. Suka gak kuat menahan nafsu. Padahal inti tulisan ini kan soal kolumnis. Hehe. Maaf ya.

Baiklah, seperti yang saya katakan sebelumnya, kolumnis itu sama buruknya nasibnya dengan komunis. Sama-sama dilupakan peradaban. Tak setenar presiden atau Panglima ABRI. Terutama di jaman Orde Baru. Meskipun sekarang juga begitu.

Mengapa?

Sederhana saja, kolumnis adalah seorang yang demen nulis di kolom-kolom surat kabar. Namanya penulis, ya tentu saja bakalan jujur. Seperti kata Pramoedya, tulisan itu lebih jujur dari mulut penulisnya. Jadi, meski si penulis ini suka berbohong, tetap saja tulisannya akan jujur. Seperti perasaanku padamu, dik. Iya, kamu. Halah opo toh.

Nah, kejujuran itulah musuh utama sebuah rezim. Terutama rezim bernama Orba itu. Apalagi kalau kejujuran itu berbentuk kritik. Haram hukumnya. Bisa-bisa dibredel koran yang istiqomah memberitakan kejujuran. Tempo misalnya.

Soal kolumnisnya?

Kolumnisnya sendiri (yang jujur loh ya) dipenjarakan. Bisa macam-macam tuduhannya. Pencemaran nama baik. Melawan pemerintah. Atau melawan calon mertua. Aiih opo sih kok ke situ-situ. Pokoknya, jaman itu apapun yang tidak disuka si pemimpin ya kudu masuk bui.

Sebab itulah tak banyak orang yang berani jadi kolumnis. Pekerjaan ini kurang populer. Karena taruhannya adalah bui. Sedangkan, jadi kolumnis yang berbohong, hati nurani mereka menolak. Sehingga, ya lebih baik tidak usah daripada harus berontak pada hati nurani sendiri.

Pada jaman itu, Mahbub Djunaidi adalah salah satu kolumnis paling berani di negeri ini. Bukan bui yang membuatnya berhenti menulis. Tapi kematian. Dan itu terbukti. Ia berhenti menulis baru setelah mati. Soal kolumnis satu ini, biarlah lain waktu kuceritakan.

Lantas sekarang?

Sekarang sih memang sudah banyak kolumnis. Reformasi telah menjadi gerbang kebebasan termasuk pada pekerjaan ini. Bahkan, seperti fakta, pekerjaan ini dijunjung setinggi-tingginya derajatnya. Kolumnis wajib dibela. Begitulah.

Namun, kebebasan ini rupanya tak bikin para kolumnis baru tambah jujur. Sebaliknya, kebebasan itu mereka bikin untuk melegalkan kebohongannya. Seolah apa yang mereka lakukan itu dilindungi oleh negara.

Maka, tak heran bila kita melihat koran hari ini, cukup memuakkan. Isinya cuma berita-berita yang telah dibentuk sedemikan rupa sesuai pesanan. Dan para kolumnisnya? Tak jauh beda. Mereka cuma mempertajam kebohongan berita-berita itu dengan wajah yang liyan.

Tak semua memang. Karena masih ada kolumnis-kolumnis macam AS Laksana yang cukup konsisten dengan kejujurannya. Atau Cak Rusdi, jurnalis senior yang selalu kuat dengan perspektif pada setiap beritanya. Bahkan, di tengah semua keterbatasan itu, muncul Mojok(dot)co dan Jombloo(dot)co sebagai dwi website asuhan Puthut EA yang sama-sama mengedepankan tawa dan kejujuran dalam tulisan-tulisannya.

Terakhir, bila hari ini tukang mebel mampu jadi presiden, akankah kolumnis juga?

Hanya ada satu jawaban saya, "Ya!"

Tapi, kalau itu benar-benar terjadi, saya mohon jangan Agus Mulyadi yang jadi. Kasihan PDIP bila harus ganti jargon. Bukan lagi moncong putih, tapi moncong Mulaydi!

Tabiq!

Posted on Minggu, Juni 07, 2015 by Sounds Free

No comments

Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Kembalinya NU ke khittah 1926 pada Muktamar Situbondo tahun 1983, bukanlah sebuah hal asing lagi. Baik bagi kalangan nahdliyyin sendiri, maupun mereka yang berada di luar NU. Sejak saat itu, NU, secara resmi mengembalikan status dirinya sebagai organisasi sosial keagamaan sebagaimana awal mula organisasi ini berdiri. Sekaligus menandai undur dirinya organisasi ini dalam segala bentuk kegiatan politik praktis.

Sejalan dengan keputusan tersebut, terbebaslah nahdliyyin menentukan sikap politiknya. Sebagaimana jargon yang terkenal, "NU ada di mana-mana, tapi tidak ke mana-mana." Artinya, nahdliyyin bisa berada di parpol manapun, tanpa harus mengikut sertakan NU ke dalamnya. Berbeda dengan masa sebelumnya, NU sebagai partai pada pemilu 1955, dan menjadi bagian dari PPP setelah adanya kebijakan fusi partai di jaman Orba.

Dalam hal ini, PPP pun menjadi partai yang praktis sangat dirugikan. Kendati masih banyak tokoh muda NU yang bercokol di partai itu, jumlah pemilih dari nahdliyyin merosot. Hal ini terlihat jelas pada pemilu 1987. Saat itu, secara tidak langsung, dengan jargon kembali ke kultur, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berhasil membuat suara PPP gembos. Sebaliknya, suara Golkar semakin gemuk. Pada akhirnya polemik pun terjadi di dalam tubuh NU sendiri. Seperti halnya antara KH Alwy, yang saat itu masih di PPP, dengan Gus Dur.

Pada masa seperti ini, saat berlangsung Konbes NU di Cilacap, muncullah gagasan Khittah Plus dari Mahbub Djunaidi dengan dukungan dari KH. As'ad Syamsul Arifin (Situbondo). Bahwa, sebagai jamiyah, NU pun harus memiliki sikap politik.

Mahbub beranggapan, tanpa adanya sikap politik, NU hanya akan menjadi political hostest semata. Nahdliyyin sekadar menjadi pendulang suara, namun NU tidak punya keterikatan dengan power yang didukungnya. Atau, hanya menjadi pembenar bagi kebijakan pemerintah saja. Walhasil, kepentingan nahdliyyin pun tak dapat terakomodir.

Namun, gagasan Mahbub ini ditolak oleh Konbes masa itu. Karena, Khittah Plus sama saja dengan mengembalikan NU sebagai partai. Dan itu dianggap merugikan fleksibilitas NU yang telah terbangun.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya setelah reformasi, ketimpangan mulai terjadi. Beberapa partai berdiri mengatasnamakan NU, seperti PKB dan PNU. Dan, NU pun dituntut mengambil sikap.

Nyatanya, NU pilih kasih dalam mengambil sikap. PKB lebih dianak emaskan daripada yang lain. Hal itu membuat PNU dan partai lain yang mengatasnamakan NU pada akhirnya bubar. PKB praktis menjadi satu-satunya partai yang mengatasnamakan NU. Bahkan, dalam pemilu 2014 lalu, PKB jelas-jelas mencatut lambang NU pada baliho kampanyenya.

Bagi saya, hal ini bertentangan dengan keputusan kembali khittah. Harusnya NU tidak perlu tebang pilih semacam itu. Karena, itu membuktikan NU hanya ada di satu tempat saja: PKB. Berbanding terbalik dengan jargon bahwa NU dimana-mana.

Seharusnya, kalau memang NU tidak kemana-mana, maka tidak boleh ada satu parpolpun yang memakai lambangnya. Meskipun pada kenyataannya di situ banyak bercokol politisi nahdliyyin.

Sebaliknya, kalau NU memperbolehkan salah satu parpol memakai lambangnya, maka partai lainpun harusnya diizinkan. Misal Golkar dengan adanya Nusron Wahid, Ketua GP Ansor di situ. Atau PPP sebagai partai yang dipimpin kader NU juga.

Menurut saya, pada Muktamar Jombang Agustus nanti, persoalan seperti ini juga harus dibahas dengan serius. Demi NU tak dianggap sebagai penjilat ludah sendiri.

Selain itu, gagasan Khittah Plus juga harus dipikirkan ulang. Mengingat, dengan banyaknya politisi NU yang menjadi menteri di rezim Jokowi, adalah bukti bahwa NU telah besar secara politik. Dan, hal itu membutuhkan kejelasan politik dari NU.

Bukan tidak mungkin, 2019 akan ada nahdliyyin yang akan menjadi calon presiden. Maka, penting untuk dipikirkan dari sekarang. Bila tidak, lagi-lagi nahdliyyinlah yang akan dirugikan. Hanya menjadi keset politik penguasa saja.

Mengutip Mahbub Djunaidi, politik bukan cuma soal kekuasaan. Melainkan keberanian untuk bermasyarakat, mendengarkan suara rakyat, dan menyuarakan suara yang benar. Sebagai jamiyah keagamaan terbesar, NU memiliki kemampuan untuk melakukannya. Sunggug sayang bila harus disia-siakan!

Tabiq!

Posted on Minggu, Juni 07, 2015 by Sounds Free

No comments



Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Segala yang dilakukan dengan mengendap-endap memang tak pernah asik. Bahkan bila sesungguhnya perbuatan itu sungguh mengasikkan. Bercinta misalnya. Tak ada yang syak soal keasikannya. Manusia hidup pasti senang melakukannya. Bila tidak, tak mungkin ada pernikahan, poligami, hingga kumpul kebo. Tapi, tetap saja akan menjadi wagu bila dilakukan secara mengendap-endap. Sembunyi-sembunyi.

Barangkali itulah mengapa prostitusi, bagi Ahok, mesti dibikin transparan. Legal.Dibuatkan lokalisasi yang bisa dijangkau siapa saja. Supaya tak hilang keasikan sensasinya. Supaya uhuk uhuk oh my god ite ite kimochi-nya tak mandeg di kerongkongan saja. Lepas. Puas. Tak seperti nasib muda mudi yang suka ngendok di kos itu. Terbebani hasrat digrebek.

Bahkan, ia berencana membikinkan pekerjanya sertifikat. Mungkin biar resmi. Biar nggak kalah sama PNS. Apalagi sebentar lagi MEA, sertifikat pasti penting bagi PSK lokal untuk bersaing dengan PSK dari negara liyan. Yang pastinya sebentar lagi bakal tumpah ruah kayak mobil Jepang di negeri ini.

Sepintas ide si kokoh memang tampak luhur. Karena, selain dua faktor di atas, memang melegalkan lokalisasi banyak baiknya. Mencegah seks bebas dan hal-hal lain yang tentu sama buruknya dengan hukuman mati. Sebuah hal yang tak habis pikir rasanya bisa ada di negeri yang guyub makmur sejahtera ini. Duh.

Namun, kalau dipikir lebih jeruh lagi, kebijakan si kokoh nyatanya tak seluhur itu. Mengapa?

Pertama, membikin lokalisasi hanya bakal bikin mata rantai yang semakin panjang saja soal bisnis haram ini. Bahkan, bisa-bisa pelakunya merasa perbuatannya dilindungi negara. Germo-germo akan makin semangat bergerilya mencari gadis-gadis baru buat dibodohi lalu dijual. Mau sampai kapan? Nunggu gadis perawan di negeri ini habis, dan Gus Mul jadi perjaka tua? Jelas tidak, kan!

Sebab, seperti kata Bang Napi, kejahatan bukan hanya karena niat pelakunya. Melainkan karena adanya kesempatan. Apakah Koh Ahok yang tegas dan luhur budi itu mau ngasih kesempatan pada hal bejat? Ya mending kasih kesempatan buat Gus Mul buat dapet jodoh aja lah.

Kedua, sertifikasi pada PSK saya pikir adalah sebuah hal yang utopis. Coba kita pikir bersama, kiranya bagaima mekanisme sertifikasinya? Apa tolak ukurnya? Siapa yang mengukur? Koh Ahok? Menang banyak dong.

Saya masih percaya, tolak ukur kepuasan di ranjang, adalah rahasia dua tubuh yang berkeringat dan cicak yang ngiler di sudut dinding. Bukan berdasar sertifikat. Karena ini bukab Ujian Nasional!

Tak hanya itu, sertifikasi juga bakal menimbulkan perpecahan sosial di kalangan PSK. Yang tak lolos sertifikasi akan meri sama yang lolos. Karena, ke depannya ini juga akan menentukan jumlah pelanggan. Konsumen bakal lebih milih yang bersertifikat. Seperti mereka yang lebih percaya Sevel daripada toko kelontong. Duh, lagi-lagi cara kapitalisme!

Kalau sudah begitu, siapa yang bakal tanggungjawab sama hidup PSK non sertifikat? Negara? Ya ndak mungkin. Wong menurut UUD 45' yang ditanggung negara itu cuma hajat hidup rakyat miskin, gelandangan, dan anak yatim saja kok. Bukan PSK!

Sudahlah Koh Ahok, PSK itu sudah kelewat susah. Jangan lagi ditambah dengan nalar bisnismu yang maha kapital itu. Orang jatuh jangan tambah diinjek. Tapi bantulah berdiri. Beri pegangan. Entaskan mereka dari problemanya.

Lagipula, persoalan ini adalah persoalan sosial. Tidak bisa diselesaika dengan nalar bisnis yang matematis. Bukan dengan minus kali minus sama dengan plus. Bukan dengan nalar untung rugi. Melainkan dengan pendekatan moril. Kalau kata Gus Mul, tepo sliro.

Untuk yang satu ini, kiranya bisa belajar sama Bu Risma saja. Meski kontrofersial, nyatanya pembubaran Dolly itu ada hasilnya juga. Wisma-wisma berganti menjadi tempat pelatihan lokakarya para mantan PSK.

Adapun masih ada satu dua PSK yang masih melanjutkan kerjanya di tempat lain, itu urusan mereka pribadi. Yang penting pemerintah sudah berusaha tak meninggalkan mereka begitu saja. Tapi mengayomi seperti janjinya.

Terakhir, saya jadi ingat sebuah pepatah lama: jika kau ingin tahu rahasia kota yang makmur, maka lihatlah perilaku para ibu dan anak gadisnya. Bila kau ingin tahu rahasia kota yang hancur, lihatlah perilaku para lelakinya.

Jadi, bagaimana dengan Jakarta, Koh?

Posted on Minggu, Juni 07, 2015 by Sounds Free

No comments




Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Bung Karno dalam bukunya 'Di Bawah Bendera Revolusi' pernah berkata, bangsa yang besar adalah yang punya romantika. Pendapat ini tak lain muncul dalam konteks membangkitkan semangat revolusi bangsa Indonesia kala itu. Sriwijaya, Majapahit, dan kerajaan-kerajaan lain di negeri ini menjadi romantika yang dimaksud untuk diulangi kejayaannya.

Baiklah, bangsa ini memang telah besar sejak dahulu kala. Cucu Jenghis Khan, Kubilai Khan, pun tak mampu menaklukkan bangsa ini.  Sebaliknya, utusan yang dikirim olehnya harus pulang membawa malu atas penghinaan yang diberikan Kertanegara dengan melukai wajahnya. Juga, begitulah nasib Jenderal Mallaby. Sebagai seorang jenderal besar yang belum sekalipun kalah di beberapa perang besar, ia harus mati di tangan arek-arek Suroboyo yang mempertahankan kemerdekaan bangsanya.

Seluruh kejadian itu, sekali lagi, kini telah menjadi romantika. Dongeng yang ditulis dalam buku sejarah maupun disampaikan dari lisan ke lisan. Sehingga, setiap anak bangsa yang baru lahir senantiasa memiliki kebanggaan atas tanah air dan moyangnya. Dan, ketika ditanya siapa nenek moyang mereka, dengan lantang   mereka kan menjawab: nenek moyangku pelaut, pejuang, dan penguasa.

Namun, nyatanya romantika tak selamanya membesarkan. Melainkan bisa juga mengkerdilkan dan membikin malu. Terutama apabila kita terlalu larut di dalamnya. Kecanduan. Seperti kata Cak Nun, kecanduan, meskipun pada hal baik, adalah sesuatu yang harus dihindari. Bila tidak, niscaya kita akan menjadi manusia yang selalu sakaw. Sedangkan, orang sakaw itu mudah dipengaruhi dan terjerumus.

Dapat dikatakan, hari ini kita tengah menjadi bangsa yang sakaw. Setiap bicara bangsa, kita pasti berbicara romantika masa lalu. Tidak hanya masyarakat awam, pemikir dan politisi di negeri ini pun sama. Lihat saja pada setiap kampanye pemilu tahun 2014. Baik Jokowi dan Prabowo sama-sama menjadikan romantika masa lalu sebagai barang jualan utama di etalase kampanye mereka.

Untuk yang satu itu, saya sangat miris melihat Prabowo. Tak hanya soal jargon, hingga gaya pun ia harus mengimitasi Bung Karno. Padahal seorang pemimpin mestilah punya karakter sendiri. Bahkan bila itu mlenya-mlenye seperti Jokowi. Toh, buktinya karena kemlenya-mlenyeannya itulah ia menang. Ia telah membuktikan pada rakyat mampu menjadi diri sendiri. Ya, meskipun kini setelah terpilih ia menjadi sedikit ambivalen.

Hal lain yang membuktikan kesakawan bangsa ini pada romatika masa lalu, adalah ketika membicarakan soal-soal pembangunan. Selalu saja, di tengah keterpurukan di pelbagai sektor, kita menghibur diri dengan segala pencapaian di masa lalu. Cukup di situ, tanpa ada usaha untuk membenahinya. Atau, paling mentok berantem soal anggaran yang hanya berujung panjangnya antrean jadwal sidang di pengadilan Tipikor.

Misalnya soal pendidikan, kita selalu bangga bahwa dulu kita adalah guru bagi rakyat negeri Jiran. Pelajar-pelajar Malaysia berbondong-bondong belajar ke negeri ini. Dan, kebanggan semacam ini bertahan berpuluh tahun lamanya, hingga secara tak sadar kwalitas sekolah dan kampus kita telah tertinggal jauh dari mereka.

Saya memang sengaja tidak bicara soal kwalitas pemikiran pelajar kita dengan mereka. Karena, saya masih yakin pemikiran anak bangsa ini masih jauh lebih unggul. Tapi, apalah artinya kwalitas pemikiran yang unggul tanpa ditopang infrastruktur dan sitem yang baik? Saya pikir, untuk yang satu ini kita wajib sama-sama memikirkan jawabannya.

Soal romantika, nampaknya bukan hanya persoalan bangsa ini saja. Cina, bangsa yang disebut sebagai 'The New Emerging Power', pun mengalaminya. Dengan menggunakan sisa-sia manuskrip Dinasti Ming sebagai pembenaran, bangsa itu melakukan klaim terhadap keseluruhan wilayah Laut Cina Selatan. Alhasil, Cina pun harus menuai sengketa dengan Filipina dan beberapa negara lain di Asia Pasifik yang kebetulan punya perbatasan di Laut Cina Selatan.

Menurut berita terbaru, seperti halnya yang dilansir harian Kompas hari ini, Filipina meminta dukungan kepada Jepang perihal sengketa wilayah ini. Menanggapi permintaan itu, Jepang pun menggelar latihan perang gabungan dengan Filipina untuk pertama kalinya sejak Perang Dunia II.

Dengan begitu, dapat dikatakan security dilemma di kawasan Asia Pasifik pun terjadi. Bukan tidak mungkin konflik terbuka di kawasan pun akan segera terjadi. Mengingat, antara Jepang dan Cina pun sebenarnya telah memiliki konflik lama yang hingga kini belum terselesaikan sejak Perang Dunia II. Terlebih, situasi bisa semakin memanas karena Jepang telah memutuskan untuk merevisi UU pertahanan mereka yang hanya membolehkan negara itu memiliki self defense army.

Belum lagi AS yang sejak tahun 2011 telah menerapkan kebijakan New Containment Policy di kawasan Asia Pasifik. Sebuah kebijakan penambahan angkatan perang AS di kawasan itu, yang selama ini lebih banyak untuk ke kawasan Timur Tengah. Kalau boleh jujur, romantika juga menjadi dasar terciptanya kebijakan ini. Romantika perang dingin.

Dalam hal ini, Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan wilayah geografis terbesar di Asia Tenggara, belum mengambil kebijakan penting soal keamanan. Padahal, pada tahun 2013, Australia, sebagai sekutu AS, dalam White Security Defense-nya telah mengeluarkan kebijakan Indo-Pacific Region. Yakni, kebijakan untuk bekerjasama secara keamanan dengan seluruh negara di Samudera Hindia dan Pasifik, sebagai tindak lanjut dari kebijakan keamanan AS di kawasan itu.

Kebijakan Jokowi yang hendak menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia, memang telah memberi angin segar bagi bangsa ini dalam bersikap. Tapi, itupun akan sia-sia belaka bila tak segera didukung dengan infrastruktur yang baik. Seperti alutista yang memadai. Karena, menjadi poros maritim tentunya tak hanya soal membakar kapal penangkap ikan yang ilegal, lalu memberitakannya di pelbagai media.

Poros maritim tentunya bukan istilah abal-abal, yang dipakai sekenanya atas dasar romantika bahwa nenek moyang kita seorang pelaut. Melainkan sebuah gagasan besar, yang untuk mewujudkannya dibutuhkan kajian mendalam dan usaha yang ekstra keras. Dan, Jokowi, Bu Susi, dan Ryamrizad, adalah orang-orang yang bertanggungjawab untuk melakukannya.

Jangan sampai, seperti halnya soal pendidikan, negeri ini cuma bisa dibilang sebagai bangsa yang kecanduan romantika. Kalau Cina siap berkonfrontasi dengan banyak negara demi memperjuangkan kenangannya, mengapa bangsa ini tidak? Atau, jangan-jangan sebenarnya romantika kita adalah sebagai bangsa yang terjajah, yang selalu manut dan inferior di hadapan bangsa asing, dan kisah Majapahit dan Sriwijaya itu hanya dongeng tanpa kebenaran?

*****

Romantika, kata teman saya, memang selalu memilukan. Apalagi dalam kondisi berhadapan dengan mantan. Hanya air mata yang mampu menjadi jawaban. Tapi tidak bagi insan yang benar-benar bermental juara. Mereka yang tak menganggap masa lalu sebagai sebuah hal yang mesti diratapi, melainkan sebuah pijakan untuk dapat berdiri tegak di atas podium masa depan yang gemilang.

Menurutnya, kunci untuk mampu menjadi insan semacam itu, adalah dengan berani menentukan sikap, dan bertanggungjawab atas sikap yang diambil.

Dalam konteks Indonesia, kalau kita belum benar-benar siap menjadi poros maritim dunia, mengapa tidak mencoba menjadi poros kretek dunia? Nyatanya, kretek telah membuktikan diri tak hanya sekadar romantika belaka, tapi harapan bagi kedaulatan perekonomian bangsa di masa depan!



Posted on Minggu, Juni 07, 2015 by Sounds Free

No comments