Akhir-akhir ini saya memiliki masalah dalam berkonsentrasi, saya tidak tau apakah itu merupakan efek dari banyaknya tugas yang harus saya selesaikan atau mungkin semacam kecemasan yang tidak beralasan mengingat saya memiliki panic disorder. Saya selalu mendengarkan musik untuk mengatasi kendala ini, semacam relaksasi murah bermodalkan playlist di iTunes saya. Hal ini seringkali menyelamatkan saya untuk tidak terlihat sebagai orang tolol (atau mungkin pada dasarnya saya adalah orang yang sebenarnya tolol).

            Musik dipercaya dapat membantu konsentrasi dan memberikan efek relaksasi bagi yang mendengarkan. Banyak studi yang membahas mengenai kaitan antara mendengarkan musik dan tingkat produktifitas dalam bekerja. Dalam sebuah artikel yang saya baca di sebuah situs bernama listen to the world yang berjudul “Working With the Music On: How to Pick the Right Music for the Right Task”, disebutkan bahwa otak manusia bereaksi secara berbeda terkait jenis musik yang didengarkan. Untuk membantu daya konsentrasi, musik tanpa lirik atau musik dengan lirik yang menggunakan bahasa yang tidak kita mengerti merupakan pilihan yang baik untuk membantu konsentrasi. I need to hear something that I can ignore, jika diartikan secara gamblang.

            Ketika kita mengerjakan sesuatu sembari mendengarkan musik, sebenarnya otak kita bekerja secara multitasking. Kemampuan membaca dan mengingat kita bekerja ketika kita mendengarkan musik, terutama dengan lirik yang terdapat dalam sebuah lagu. Sebenarnya lirik dalam lagu yang kita dengarkan dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan kemampuan menulis dan membaca kita. Coba saja kerjakan sebuah essay sembari mendengarkan lagu Wouldn’t it be Nice dari grup musik The Beach Boys, nada dan liriknya yang catchy pasti tanpa kita sadari mempengaruhi kemampuan konsentrasi untuk menulis dan membaca.

            Malam minggu kemarin, ketika menghadiri acara Record Store Day di sebuah venue di Kemang, seorang teman mengingatkan saya tentang band folk legendaris asal Jepang yang bernama Happy End ketika ia memutar lagu Natsu Nandesu dari album Kazemachi Roman (1971) karya grup tersebut. Saya berpikir bahwa album inilah yang perlu saya dengarkan setidaknya selama satu minggu ke depan. Album ini, yang merupakan album kedua mereka merupakan karya yang sangat baik dengan nuansa folk rock, ia juga menyandang peringkat pertama dalam 100 Greatest Japanese Rock Album of All Time oleh majalah Rolling Stone Japan. Track yang terdapat dalam lagu ini benar-benar merupakan sebuah album yang tidak biasa, perpaduan antara gaya bernyanyi folk versi Barat serta melodi Barat yang dipadu dengan melodi khas Jepang. Mulai dari gitar akustik yang jernih seperti di lagu Kaze Wo Atsumete yang sangat menyejukkan, hingga slide gitar menggunakan pentatonic Blues dalam progresi akord dominan dalam lagu Haikara Beautiful.

    
        Saya tidak mau repot-repot membicarakan tentang album terakhir mereka (Happy End – 1973) dimana mereka memutuskan untuk membubarkan diri karena rasa frustasi akan kekecewaan mereka dengan sesi rekaman di sebuah studio di Los Angeles. Kazemachi Roman yang saya bicarakan sudah cukup untuk menggambarkan setidaknya, musikalitas grup ini secara keseluruhan.

              Kembali dengan pilihan musik yang tepat terkait artikel yang saya sebutkan sebelumnya, artikel tersebut menyarankan untuk mendengarkan lagu tanpa lirik seperti lagu-lagu instrumental karya Lee Ritenour, Pat Metheney, atau mungkin lagu Three To Get Ready karya Dave Brubeck Quartet dan tentu saja, lagu dengan lirik yang bahasanya tidak kita mengerti, seperti Kazemachi Roman dari Happy End ini, mengingat saya tidak bisa atau mengerti bahasa negeri Sakura tersebut. Lagu-lagu dalam Kazemachi Roman yang tentu saja menggunakan bahasa Jepang, terasa seperti angin lalu di telinga saya, terlepas dari komposisi yang apik dan tata vokal yang harmonis. Album ini benar-benar album yang pantas untuk didengarkan berkali-kali (sebelum saya merasa bosan tentunya).

            Bahkan ketika menulis tulisan ini, saya sembari memutar Kazemachi Roman karya Happy End di playlist iTunes saya. Band yang aktif dari tahun 1969 hingga 1972 dan dijuluki “Japanese Beatles” ini sukses membuat saya setidaknya, atau mungkin hanya perasaan saya saja, sedikit dapat berkonsentrasi terhadap tugas-tugas akademis yang sedang saya kerjakan. Saya dapat dengan tenang menulis ataupun membaca sembari mendengarkan musik tanpa takut akan usaha alam bawah sadar saya untuk berusaha mengingat atau menghafal lirik yang dinyanyikan. Kemasan musik yang apik dengan lirik yang tidak saya mengerti seolah memenuhi kebutuhan saya akan sesuatu yang dapat saya abaikan.

I’m hearing something that I can ignore, not to disrespect to the people who made it, but for enjoying the ignorance to a whole new level.
           

N.B : Sementara saya mengerjakan tulisan ini sembari mendengarkan Kazemachi Roman, teman sebelah kamar saya memutar lagu-lagu dari grup Payung Teduh dengan volume yang samar-samar terdengar hingga ke kamar saya.