Oleh: Muhammad Ahsan Ridhoi

Segala yang dilakukan dengan mengendap-endap memang tak pernah asik. Bahkan bila sesungguhnya perbuatan itu sungguh mengasikkan. Bercinta misalnya. Tak ada yang syak soal keasikannya. Manusia hidup pasti senang melakukannya. Bila tidak, tak mungkin ada pernikahan, poligami, hingga kumpul kebo. Tapi, tetap saja akan menjadi wagu bila dilakukan secara mengendap-endap. Sembunyi-sembunyi.

Barangkali itulah mengapa prostitusi, bagi Ahok, mesti dibikin transparan. Legal.Dibuatkan lokalisasi yang bisa dijangkau siapa saja. Supaya tak hilang keasikan sensasinya. Supaya uhuk uhuk oh my god ite ite kimochi-nya tak mandeg di kerongkongan saja. Lepas. Puas. Tak seperti nasib muda mudi yang suka ngendok di kos itu. Terbebani hasrat digrebek.

Bahkan, ia berencana membikinkan pekerjanya sertifikat. Mungkin biar resmi. Biar nggak kalah sama PNS. Apalagi sebentar lagi MEA, sertifikat pasti penting bagi PSK lokal untuk bersaing dengan PSK dari negara liyan. Yang pastinya sebentar lagi bakal tumpah ruah kayak mobil Jepang di negeri ini.

Sepintas ide si kokoh memang tampak luhur. Karena, selain dua faktor di atas, memang melegalkan lokalisasi banyak baiknya. Mencegah seks bebas dan hal-hal lain yang tentu sama buruknya dengan hukuman mati. Sebuah hal yang tak habis pikir rasanya bisa ada di negeri yang guyub makmur sejahtera ini. Duh.

Namun, kalau dipikir lebih jeruh lagi, kebijakan si kokoh nyatanya tak seluhur itu. Mengapa?

Pertama, membikin lokalisasi hanya bakal bikin mata rantai yang semakin panjang saja soal bisnis haram ini. Bahkan, bisa-bisa pelakunya merasa perbuatannya dilindungi negara. Germo-germo akan makin semangat bergerilya mencari gadis-gadis baru buat dibodohi lalu dijual. Mau sampai kapan? Nunggu gadis perawan di negeri ini habis, dan Gus Mul jadi perjaka tua? Jelas tidak, kan!

Sebab, seperti kata Bang Napi, kejahatan bukan hanya karena niat pelakunya. Melainkan karena adanya kesempatan. Apakah Koh Ahok yang tegas dan luhur budi itu mau ngasih kesempatan pada hal bejat? Ya mending kasih kesempatan buat Gus Mul buat dapet jodoh aja lah.

Kedua, sertifikasi pada PSK saya pikir adalah sebuah hal yang utopis. Coba kita pikir bersama, kiranya bagaima mekanisme sertifikasinya? Apa tolak ukurnya? Siapa yang mengukur? Koh Ahok? Menang banyak dong.

Saya masih percaya, tolak ukur kepuasan di ranjang, adalah rahasia dua tubuh yang berkeringat dan cicak yang ngiler di sudut dinding. Bukan berdasar sertifikat. Karena ini bukab Ujian Nasional!

Tak hanya itu, sertifikasi juga bakal menimbulkan perpecahan sosial di kalangan PSK. Yang tak lolos sertifikasi akan meri sama yang lolos. Karena, ke depannya ini juga akan menentukan jumlah pelanggan. Konsumen bakal lebih milih yang bersertifikat. Seperti mereka yang lebih percaya Sevel daripada toko kelontong. Duh, lagi-lagi cara kapitalisme!

Kalau sudah begitu, siapa yang bakal tanggungjawab sama hidup PSK non sertifikat? Negara? Ya ndak mungkin. Wong menurut UUD 45' yang ditanggung negara itu cuma hajat hidup rakyat miskin, gelandangan, dan anak yatim saja kok. Bukan PSK!

Sudahlah Koh Ahok, PSK itu sudah kelewat susah. Jangan lagi ditambah dengan nalar bisnismu yang maha kapital itu. Orang jatuh jangan tambah diinjek. Tapi bantulah berdiri. Beri pegangan. Entaskan mereka dari problemanya.

Lagipula, persoalan ini adalah persoalan sosial. Tidak bisa diselesaika dengan nalar bisnis yang matematis. Bukan dengan minus kali minus sama dengan plus. Bukan dengan nalar untung rugi. Melainkan dengan pendekatan moril. Kalau kata Gus Mul, tepo sliro.

Untuk yang satu ini, kiranya bisa belajar sama Bu Risma saja. Meski kontrofersial, nyatanya pembubaran Dolly itu ada hasilnya juga. Wisma-wisma berganti menjadi tempat pelatihan lokakarya para mantan PSK.

Adapun masih ada satu dua PSK yang masih melanjutkan kerjanya di tempat lain, itu urusan mereka pribadi. Yang penting pemerintah sudah berusaha tak meninggalkan mereka begitu saja. Tapi mengayomi seperti janjinya.

Terakhir, saya jadi ingat sebuah pepatah lama: jika kau ingin tahu rahasia kota yang makmur, maka lihatlah perilaku para ibu dan anak gadisnya. Bila kau ingin tahu rahasia kota yang hancur, lihatlah perilaku para lelakinya.

Jadi, bagaimana dengan Jakarta, Koh?